Senin, 26 Oktober 2009

Seperti kemarin

Seperti kemarin

Ada makan pagi,

Ada persiapan singkat ke kantor.

Beberapa saat berdiri menunggu angkot,

Ada yang sedang buka pintu toko,

Ada yang sudah bersih-bersih barang dagangan,

Ada anggukan dan senyum wanita yang memarkirkan motor


Seperti kemarin

Ada sapaan ramah,

Ada senyum,

Ada segelas kopi pukul sembilan tigapuluh,

Ada kesibukan rutin,

Ada makan siang dengan canda


Seperti kemarin

Beres beres enambelas empatlima

Dan pulang…

Segala yang disekelilingku semua seperti yang kemarin

Orang-orang dan segala aktifitasnya.


Hatiku yang tidak pernah sama dengan kemarin

Dan itulah alasan aku bersyukur…


Indie *261009

Kamis, 22 Oktober 2009

gelisah

Tiba-tiba terasa seperti ada yang hilang
Tidak jelas, tapi sangat terasa ada yang lenyap
Lenyap begitu saja, tanpa sisa jejak yang dapat diikuti
Kosong, tak bernyawa
Rasa apa ini TUHAN…

Baru beberapa hari lalu riang datang,
Dijadikan keputusan cara hadapi rumitnya rumit
Beberapa waktu ada rasa teratasi, ringan.., tenang..,

darimana rasa ini datang,
dari berita yang sempat singgah atau dari sikapku tadi

mengapa langkahku berat lagi, tidak seringan kemarin
apa artinya keputusanku salah?
Atau aku sudah berpaling dari arah yang seharusnya…

Indie *280107

Rabu, 14 Oktober 2009

Perasaan yang Salah

Andien senyam senyum sendiri, sambil pura-pura sibuk menulis, padahal jika dicermati, Andien hanya mencorat corat selembar kertas dengan tanda tangan berulang-ulang. Pikirannya melambung demi mendengar sebuah tembang cantik, namanya juga tembang cinta pasti romantis, apalagi isinya tentang pemujaan kaumnya. Senyumnya seolah terlihat berandai, kapan dia bertemu lelaki yang akan menyanyikan untuknya tembang cantik itu.
“Aku tidak tau awal perasaanku, tiba-tiba saja muncul, berkembang dan merajai seluruh hatiku” tutur Andien suatu saat kepada Luna. Asli dia tidak mengingatkan aku pada siapapun, pada cinta yang pernah ada. Lanjut Andien dengan mata berbinar.
“Trus dia tau kamu suka dia.” Tanya Luna santai sambil memainkan sendok dalam segelas es mutiara. Dengan nada lirih dan mata bimbang Andien menggeleng “ga tau, belum pernah ngomong”.
Cukup lama Andien terdiam, tampak seperti sedang mempertimbangkan sesuatu, “someday, aku pasti ngomong, harus” lanjut Andien sepintas lalu, setelah terdiam beberapa saat. Nada itu begitu mantap. Andien seperti omong sama diri sendiri, karenanya tidak terlalu jelas tertangkap oleh telinga Luna.
Luna yang memahami sifat Andien hanya tersenyum dan melanjutkan santapannya.
Tidak tau dengan tepat apakah ini sebuah kesalahan yang dilakukan Andien, karena sudah terburu-buru mengklaim bahwa hatinya memberi signal begitu kuat. Semula Andien menikmati rasanya sebagai sebuah keindahan. Layaknya hati yang sedang jatuh cinta, pikirannya selalu tertuju ke Bramantio. Kata tepat untuk menggambarkan rasa Andien adalah selalu rindu, tidak pernah tidak, falling in love!
“tenang aja kak, itu rasa sesaat, paling juga dengan berjalannya waktu nanti bisa ilang” sahut Luna santai, seolah bermaksud memecah keheningan sejenak diantara mereka.
Andien menanggapi dengan senyum. Andien ngerti maksud Luna, karena dia juga sadar itu bukan rasa yang tepat, rasa yang tidak seharusnya atau tidak pada tempatnya. Mungkin pikir Luna rasa yang mustahil muncul dari seorang Andien, karena sebelumnya Luna sudah denger sedikit dari Andien tentang profile Bram, ada beberapa hal yang tidak mungkin membuat Andien memberi tempat untuk rasa itu bertumbuh dengan baik dihatinya.

Perfect! Batin Andien suatu saat setelah sesaat dia membuka-buka buku usang yang cover depannya juga sudah tidak ada. Tapi sepertinya terawat dengan baik. Di situ dia menemukan tulisan tangannya mengenai beberapa hal yang dia minta, kelak kalau dia memiliki seseorang. Secara keseluruhan bagi Andien, Bramantio adalah sosok impian banget. Bram mampu membuatnya bersorak, berbinar dan berbunga-bunga. Tapi juga tidak jarang tiba-tiba saja menitikkan air mata tanpa kompromi dengan keadaan. Namanya juga cinta.
Bisa jadi karena lagu, setiap lagu yang mengalun diruang kerja mereka, setiap liriknya terasa sangat sempurna mewakili perasaan Andien, tertuang begitu apik. Seringkali lirik dalam lagu-lagu itu mampu membius seluruh rasa Andien hingga melayang, dan ups! sepertinya apa yang dia rasakan tertangkap jelas oleh Bram.
Ini sudah minggu ke delapan sejak Andien menyadari perasaannya ke Bram.
Seperti biasa, angan Andien yang melambung selalu membuat dia mengagendakan tekadnya untuk menyampaikan rasanya ke Bram. Pikirnya akan membuat Andien sedikit plong, karena sudah mengungkapkan perasaannya. Sayangnya hal itu selalu gagal, padahal rasanya selalu ada kesempatan berdua, sudah pasti Andien bisa leluasa menyampaikan perasaannya. Always speechless, tepat selalu tidak ada kata-kata yang bisa keluar, semua hanya nyangkut entah didinding hati atau dikerongkongan. Hanya hela nafas untuk melepas sesak yang menghimpit perasaannya. Itu yang mampu Andien buat. Sekalinya keluar kalimat, sungguh tidak sedikitpun mewakili apa yang sebenarnya ingin dia ungkapkan. Kekanak-kanakan! Batin Andien seperti mengumpat untuk diri sendiri. Kenapa selalu seperti ini. Aneh aja, dia kan orang yang bisa berkomunikasi dengan baik, bahkan untuk hal sesulit apapun. Tapi ini, duh, tinggal ngomong gitu aja ga mampu.
Kalau diamati kasian juga sebenarnya Andien. Ada tumpukan rasa yang bahkan dia sendiri tidak pahami. Kadang senang dan berbunga begitu rupa, tapi bisa juga hanya karena beberapa dialog singkat yang dia tangkap bisa membuatnya merasa begitu sesak. Malah kadang hanya karena beberapa detik adegan yang dia tangkap bisa menghapus keceriaan Andien dalam sekejap.
Sebelum rasanya ke Bram berkembang. Andien bukannya tidak tau atau tidak menimbang status Bram. Andien sudah tau dengan tepat bahwa rasa itu tidak pada tempatnya. Tidak perlu dipelihara apalagi dipupuk supaya bertumbuh. Tapi Andien tidak bisa begitu saja menghapus rasa itu, apalagi melenyapkannya. Sungguh tidak bisa dilakukan dalam waktu cepat. Andien masih mengingat dengan baik apa yang Luna bilang, rasa itu cuma temporary, dengan berjalannya waktu bisa hilang dengan sendirinya. Tapi ini sudah menginjak bulan ke lima, dan ternyata rasa itu kok belum ilang juga. Padahal seingatnya yang dimaksud Luna dengan temporary, karena range waktunya tidak lebih dari 4 bulan. Karena Andien tidak mau dibingungkan dengan teori Luna, karenanya saat ini Andien hanya bisa menyetujui kata pujangga bahwa rasa tidak pernah salah. Tapi cinta yang begitu kuat juga bisa membunuh (wah kalo ini sih lagu….).
Tumpukan buku, laptop aktif, menjadi hiasan meja kerja Andien siang itu. Sepintas terlihat sibuk, sebab tangan kanannya tidak berhenti memencet tombol page up page down, sedang tangan kirinya ada di tombol esc laptop. Atau kadang sesekali menyentuh mouse, supaya lcd tetap menampilkan format pekerjaan, ketika sadar lcd laptop berubah menayangkan beberapa gambar dokumentasi. Kalau dicermati mata Andien menerawang jauh tanpa batas. Tanpa ada yang menduga, mungkin Andien sendiri juga tidak mengerti dengan tepat apa yang sebenarnya membuat hatinya segalau itu.
Suara berisik yang bersumber dari AC karena pengharum yang salah tempat, tata ruang kantor yang terlihat berantakan pun tidak mampu mengalihkan perhatian Andien. Tumben, padahal dia orang yang paling care dengan yang namanya estetika. Ini sudah menit ke 90, Andien tetap tidak bergeming dari posisi dan lamunannya. Fantastis, waktu yang terbilang cukup lama untuk sekedar berdiam diri tanpa melakukan apapun, hanya sesekali menghela nafas, sekedar melepas sesak yang menekan hati.
“wanita beruntung itu namanya Dina” gumamnya tiba-tiba. Ternyata percakapan antara Bramantio dengan lawan bicaranya yang dia tangkap 100 menit yang lalu itu sangat menyita perhatian Andien. Nama itu dia dengar dari Bramantio, ketika Bramantio tanpa ditanya memberi sedikit informasi mengenai topik pembicaraan yang baru saja dia selesaikan. Mungkin karena kebetulan pagi itu Andien yang mengangkat telpon untuknya, jadi pikir Bramantio wajib memberi tahu Andien even hanya informasi sekedarnya tanpa berpikir berguna atau tidak.
“Dina., mbak, dia sudah daftarin aku di dokter tadi, tapi giliran namaku dipanggil, aku malah enak-enakan disini” sambil sedikit senyum, Bramantio langsung beres-beres. “saya keluar dulu ya mbak” pamitnya bergegas. Seperti biasa, Andien hanya senyum dan mengangguk. Kalau mungkin tidak ada sesuatu yang tiba-tiba menyelinap dihatinya seperti saat itu, Andien akan tetap dengan keusilannya. Kadang dia suka iseng bilang “tidak boleh, enak aja” sambil sedikit melotot baru kemudian nyengir.
Sesaat Andien terkesima dengan suara diseberang, menyebut nama Bramantio, suara yang lirih, batin Andien, sambil senyum. Senyum Andien sangat bisa diartikan, karena dia pasti sedang membandingkan suara lirih itu dengan dirinya, berbanding terbalik, sungguh sebuah suara yang tidak pernah dia miliki. Beberapa saat kemudian Andien menyerahkan gagang telpon ke Bramantio. Sambil berjalan menuju meja pikiran Andien terus disibukkan dengan suara itu. Karena memang Andien sebelumnya tidak pernah mendengar suaranya, melihat gambarnya juga belum pernah. Percakapan mesra bukan pemandangan asing bagi Andien semenjak dia satu ruang dengan Bramantio. Baik melalui ponsel atau telpon kabel, Hal itu menjadi pemandangan sehari-hari. Even sesekali pemandangan itu menimbulkan rasa ingin dan cemburu.
Seperti yang biasanya dirasakan Andien, dia tanpa sadar seperti memberi syarat untuk seseorang bisa menempati hatinya, Andien harus terlebih dahulu menemukan salah satu atau lebih kemiripan dari seseorang dengan orang yang sempat singgah dihatinya.
Serba salah, dua suku kata itu tiba-tiba menjadi kata-kata yang tepat untuk mewakili perasaan Andien. Tiga bulan yang lalu dia berpikir, seandainya dia bisa mengungkapkan perasaannya, akan sedikit membuat dia plong dan beban perasaannya berkurang. Tapi lagi-lagi teori Andien keliru, karena terbukti setelah Andien berhasil mengungkapkan perasaannya ke Bram even tidak selancar dia ngoceh didepan kaca atau komputer. Tetap saja ada perasaan yang menekan, mengganjal dalam hatinya. Dan kali ini rasa itu lebih berat. Serba salah! Kalau dulu hanya satu yang dia pikirkan, andai saja Bram tau apa yang dia rasakan. Tapi sekarang Bram sudah tahu perasaannya tanpa komentar, tanpa expresi “trimakasih, kok bisa sih, jadi tersanjung”.

Waktu berlalu, dan ternyata bukan hal sulit bagi andien untuk menyadari, bahwa perasaan itu salah…kemudian andien tersenyum dan kembali menyeka sisa-sisa rasa dengan senyum dan hati yang sadar.

09/10/2008 – 12.06 pm

Marah

Simpan saja semua sesal palsu,
Tidak lebih dari sebuah kebohongan yang memuakkan,
Lanjutkan apa yang kalian pikir pantas untuk dilakukan,
Aku hanya bisa menyaksikan akibat ulah itu.
Bagiku tidak ada lagi tempat,
untuk sandiwara basi semacam itu.
Sudah pernah!! selalu itu kataku..

Busuk, licik, plin plan, ga konsisten begitu kalo boleh aku mengumpat.
Tidak akan aku tahan lagi untuk memuntahkan semua itu,
Sekedar membersihkan seluruh pencernaan yang ada,
Biar lebih sehat.

Pikirku aku sudah sehat,
pikirku aku cukup kuat,
Ternyata ada waktunya aku tidak sekuat waktu-waktu sebelumnya.

Ambil saja semua,
Yang kalian pikir tidak pantas aku punya,
Porak porandakan,
Musnahkan,
Jangan sisakan,
Sampai raga tidak lagi mampu mengeluh,
Sampai mati semua lingkaran rasa yang membosankan,
Aku akan tetap diam.., hanya diam,
Dan kunikmati diamku,
Sampai kembali segala kesehatan rasa yang menutrisi pikiran dan jiwaku

29/07/09

why do women cry...

A little boy asked his mother, "Why are you crying?"
"Because I'm a woman," she told him.
"I don't understand," he said.
His Mom just hugged him and said, "And you never will."

Later the little boy asked his father, "Why does mother seem to cry for no reason?"
"All women cry for no reason," was all his dad could say.
The little boy grew up and became a man, still wondering why women cry.
Finally he put in a call to God. When God got on the phone, he asked,
"God, why do women cry so easily?"

God said:

"When I made the woman she had to be special.
I made her shoulders strong enough to carry the weight of the world,
yet gentle enough to give comfort.
I gave her an inner strength to endure childbirth and the rejection that many times comes from her children.
I gave her a hardness that allows her to keep going when everyone else gives up, and take care of her family through sickness and fatigue without complaining.
I gave her the sensitivity to love her children under any and all circumstances, even when her child has hurt her very badly.
I gave her strength to carry her husband through his faults and fashioned her from his rib to protect his heart.
I gave her wisdom to know that a good husband never hurts his wife, but sometimes tests her strengths and her resolve to stand beside him unfalteringly.
And finally, I gave her a tear to shed. This is hers exclusively to use whenever it i needed."
"You see my son," said God, "the beauty of a woman is not in the clothes she wears, the figure that she carries, or the way she combs her hair.
The beauty of a woman must be seen in her eyes, because that is the doorway to her heart - the place where love resides."

Abigail Indiana

Foto saya
I am a product of GOD's Grace. Single, Simple person but will always be an extraordinary person. Just a nature, Truth lover, jazzy lover, coffee lover. Selalu mendefinisikan setiap fase hidup dengan ucapan syukur. I love my beloved Savior, He loves me unconditionally.