Bulan ini saya mendapat
renungan dan pesan dalam beberapa hari sampai dengan hari ini berbicara soal
cinta, yang membuat saya tertarik menuliskan hal ini. Sebuah topik yang menarik
jika dikaitkan dengan apapun apalagi dibicarakan di bulan Februari. Karena
memang cinta adalah pengendali prilaku. Cinta mampu memotivasi kita melakukan
banyak hal terberat, bahkan hal mustahil sekalipun, dalam arti hal yang tidak
pernah bisa kita lakukan sebelumnya. Cinta membuat manusia mau mempelajari
sesuatu dan mampu melakukan (menghidupi) dengan kerelaan hati yang penuh tanpa
pamrih, bahkan seketika mampu menghapus keberatan-keberatan bersyarat yang
pernah ada sebelumnya. Terutama untuk orang dengan usia tertentu yang sudah
mampu menimbang serta menentukan pilihan. Cinta
mampu menembus ruang dan waktu, memisahkan antara pikiran, kehendak dan
perasaan. Hanya manusia seringkali lupa bahwa hidup ini terbentuk dari sebuah
cinta baik sebagai subyek maupun obyek. Jika kesadaran ini dipelihara maka rasa
"saling" akan bertumbuh. Tidak akan banyak masalah timbul, yang disebabkan oleh
tuntutan kepedulian antara seseorang terhadap orang lain sebagai orang yang wajib tanggungjawab, atau membebani
orang lain dengan suatu keharusan tanpa meneliti kebenarannya. Situasi yang terjadi
berulang-ulang semacam ini yang kemudian menggerus kepekaan nurani manusia
untuk membentuk rasa saling mengasihi. Karena itu banyak kisah-kisah nyata yang
disebut inspiratif, digunakan untuk sekedar mengingatkan manusia yang
sedang lupa akan hal esensial dalam hidup ini yaitu cinta kasih dan kepedulian.
Saya beberapa tahun yang lalu
pernah membaca satu artikel menarik mengenai seekor anjing di Kenya yang
menyelamatkan nyawa bayi yang dibuang ibunya dihutan. Seekor anjing yang sedang
mengais makanan, menemukan bayi yang dibuang ibunya dihutan. Anjing itu kemudian
membawa bayi yang terbungkus kain tersebut. Saksi mata melihat anjing ini menyeret
bayi melintas jalan raya. Kemudian anjing itu meletakkan bayi itu bersama-sama
dengan anak-anak anjing di sebuah tempat yang hangat dan terlindung. Sampai
kemudian dua anak yang sedang bermain tidak sengaja menemukan bayi tersebut.
Anjing tersebut tanpa nama, tetapi kemudian disebut mkombozi atau penyelamat.
Anjing menjadi simbol
menarik. Di kebiasaan tertentu ia dianggap haram. Namun anjing juga sering
muncul sebagai simbol yang menegur manusia yang terlalu yakin dengan keluhuran
martabatnya yang lebih tinggi dari binatang. Anjing begitu rendahnya bahkan
budaya tertentu sebutan hewan ini menjadi kata makian seseorang yang ingin
merendahkan martabat manusia lain. Tetapi anjing juga sering kali menunjukkan
mereka lebih memiliki kesetiaan, pengabdian, kepedulian dan cinta daripada
manusia. Banyak kisah nyata mengenai anjing, dari yang paling terkenal seperti
hachiko, lalu mkombozi dari Kenya yang pernah saya baca, sampai yang tidak
tertulis, seperti cerita teman saya tadi malam melalui telpon yang menyebut
anjingnya sebagai guardian angel buat dia saat ini. Yang semua kisah tersebut
tidak lain ditulis untuk membantu mengingatkan manusia tentang esensi
kehidupan.
Saya jadi ingat cerita
pandawa lima dalam dunia pewayangan, ketika pandawa berjalan menuju puncak
Himalaya dikaki gunung, Yudistira menemukan anjing dan kemudian hewan tersebut
menjadi pendamping perjalanan pandawa yang setia. Saat mendaki puncak satu per
satu mulai dari drupadi, sadewa, nakula, arjuna dan bima meninggal dunia.
Masing-masing terseret oleh kesalahan dan dosa yang pernah mereka perbuat.
Hanya Yudistira dan anjingnya yang berhasil mencapai puncak gunung karena
kesucian hatinya.
Dewa Indra pemimpin masyarakat
kahyangan datang menjemput Yudistira untuk diajak naik ke swargaloka dengan
kereta kencananya. Namun Indra menolak anjing yang dibawa Yudistira dengan
alasan bahwa hewan tersebut tidak suci dan tidak layak untuk masuk Swargaloka.
Yudistira menolak masuk swargaloka apabila harus berpisah dengan anjingnya.
Indra merasa heran karena Yudistira tega meninggalkan saudara-saudaranya dan Drupadi.
Yudistira menjawab bahwa bukan dirinya yang meninggalkan mereka, tapi merekalah
yang meninggalkan dirinya.
Kita boleh saja mengklaim
diri sebagai makhluk yang berbudaya atau beragama. Namun ketika kita berbicara
mengenai sesuatu yang esensial dalam kehidupan yang berbau kemanusiaan semacam
cinta kasih dan kepedulian, kita justru perlu belajar dari makhluk yang selama
ini dianggap rendah, yaitu anjing. Kita mungkin juga gerah dan ada rasa tidak
terima dengan kenyataan ironis, dimana-mana kebenaran suci ditabur, namun
segala perilaku hina, kekerasan, saling jegal dan sejenisnya menjadi drama
kehidupan nyata yang terus menerus dipertontonkan.
Banyak peristiwa kekerasan
yang berujung pada hilangnya nilai kemanusiaan dan banyak lagi kasus yang
membuktikan bahwa manusia (lain) pantas dikorbankan untuk sebuah kebenaran yang
belum dipahami. Kebenaran yang tidak pernah dipahami akan membuat manusia
menjadi manusia kerumunan, karena masing-masing tidak mengerti dengan tepat.
Psikologi semacam ini sering menghilangkan kepekaan dalam diri manusia dan
kemudian mengalienasi manusia dari keunikan dirinya, otentisitas dan kemampuannya
untuk mencintai dan peduli, karena membuat manusia merasa tidak bersalah ketika
mengganyang orang lain yang dianggap berbeda.
Cinta disebut singularitas,
karena ia menjadi unik pada diri setiap orang. Cinta juga didefinisikan sebagai
puisi dalam kehidupan. Saya pernah membaca sebuah kalimat metaforis yang
mengatakan bahwa manusia memiliki kesamaan dengan keindahan bunga mawar dipagi
hari yang gemetar menanggung dingin tetes embun dikelopaknya, ketika manusia
mencintai kehidupan bukan karena terbiasa hidup melainkan terbiasa mencintai.
Hal ini menjadi bukti definisi lain dari cinta yang adalah kebiasaan. Konteks
cinta juga bisa muncul pada seseorang yang menekuni sebuah bidang dengan amat
dalam dan tidak mempedulikan imbalan materi.
Sebagian orang mendefinisikan
cinta sebagai kesederhanaan, karena kadang terlalu mewah untuk dapat dilakukan oleh
manusia, tapi kesederhanaan itu juga yang membuat cinta bisa dilakukan oleh
makhluk apapun yang paham akan esensi mendasar dari kehidupan. Bisa jadi karena
makhluk tersebut mendapat rasa itu dari sang pencipta. Cerita Yudistira ketika masuk
swargaloka ditemani oleh seekor anjing, bukan saudara dan istrinya menjadi
simbol bahwa Surga mungkin adalah sebuah cinta sederhana seseorang pada pathway
hidupnya, bukan gemerlap ritual agama atau untuk unjuk kebenaran suci. Dan
makna jawaban Yudistira bahwa bukan dirinya yang meninggalkan mereka, tapi
merekalah yang meninggalkan dirinya menyimbolkan seseorang yang tetap berjalan pada
pathway-nya, pada kemurnian hatinya, pada apa yang menjadi keunikan dirinya
yang dibagikannya pada orang lain tanpa menimbang untung dan rugi.
Cinta adalah kabar gembira
bagi kehidupan manusia. Hanya saja sering kali kabar itu merupakan gaung jauh
didalam hatinya. Begitu jauhnya sumber suara itu sehingga gaungnya pun tidak
pernah tersampaikan dalam perilaku. Hanya orang yang mengenali kedalaman
dirinya yang mampu menangkap sumber suara itu kemudian melantunkan nada itu
dalam kehidupannya.
Jujur, saya bukan penggemar
anjing atau hewan berjenis piaraan, apalagi cerita pewayangan seperti yang saya
tulis diatas, saya hanya senang belajar dari cerita-cerita bernilai kesetiaan,
meskipun seringkali saya membacanya tanpa sengaja. Tapi saya bersyukur karena
setiap kali ketika memerlukan masih mampu mengingat dan menulis ulang untuk
saya jadikan sebagai pengingat, entah sekedar menguatkan hati atau mempertebal
rasa maklum dan menurunkan kadar kenaifan yang terlalu tinggi dalam diri saya.
Menjalani kehidupan tidak
pernah mudah bagi semua orang. Apalagi untuk mengikut peradaban yang terus
menerus berkembang. Tapi sesungguhnya hidup itu sederhana, sesederhana kita
menangkap sumber suara yang tidak lain adalah cinta itu sendiri kemudian
mewujudkannya dalam bentuk lagu kehidupan yang indah, ketika kita terus menerus belajar
bagaimana mencintai, memahami dan melakukan yang benar.
Selasa, 12 Feb 2014