-->
- Perkataan
- Sikap
Seorang pria kulit hitam memasuki sebuah restoran yang didominasi orang-orang kulit putih. Saat pesan minuman, seorang kulit putih yang arogan mendekatinya dan berkata, “Hai, kamu kulit berwarna. Tempatmu bukan disini. Pergilah ke restoran yang cocok dengan warna kulitmu!”
Biasanya, daripada cari keributan, orang Amerika kulit hitam memilih mengalah. Namun, kali ini dia sudah tidak tahan lagi. Dengan tatap mata yang tajam, pemuda itu balas berkata, “Hai kamu. Coba pikirkan. Saat aku dilahirkan, warna kulitku hitam. Saat aku beranjak dewasa, aku hitam. Saat aku berjemur dibawah matahari, aku tetap hitam. Saat aku berjemur dibawah matahari, aku tetap hitam. Saat aku kedinginan, aku hitam. Saat aku sakit, aku hitam. Saat aku mati, aku masih tetap hitam. Bagaimana dengan kamu? Saat kamu dilahirkan kamu merah muda, saat kamu bertumbuh, kamu putih. Saat kamu berjemur dibawah matahari, kamu jadi merah. Saat kamu kedinginan kamu berubah jadi biru. Saat kamu ketakutan, kamu kuning. Saat kamu sakit, kamu hijau. Saat kamu memar, kamu berubah jadi ungu, dan saat kamu mati, kamu tampak abu-abu. Jadi siapa yang lebih berwarna?”
Pemuda kulit putih itu jadi pucat. Terdiam seribu bahasa dan pergi.
Tuhan menciptakan bunga warna-warni selain untuk keindahan pasti juga untuk menunjukkan bahwa perbedaan itu indah, serasi, dan seimbang.
Warna putih yang monoton akan terasa lebih indah jika ada warna lain yang menyertainya.
1 Korintus 9:20-22
9:20 Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat.
9:21 Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat.
Kedukaan bisa datang dari ucapan yang tidak direncanakan, atau telinga yang lupa menutup diri. Aku sering mengalami ini. Berbincang dengan rekan-rekan, saling melempar canda, lalu, dari saling cerita itu, "gosip" bisa diam-diam menyelinap. Dan luka datang tanpa dipanggil.
"Eh, tahu nggak, Baru saja aku mendengar sesuatu tentang Raya. dia ternyata tidak sebersih yang kita kira...." atau, "Kayaknya, dia tidak seikhlas itu deh, dulu dia pernah..."
Lama-lama aku sadari, selinapan "gosip" ini menjadi beban yang luar biasa.
Syak-wasangka, purbaduga, benci, bisa datang dengan begitu indahnya, yang bahkan tanpa membutuhkan mengikuti prinsip jurnalisme-verifikasi. "Gosip" diterima menjadi sebuah kebenaran baru, sebagai kejutan yang menggairahkan dalam memandang seseorang. Dan anehnya, entah kenapa, kadang benci bisa jadi begitu mengasyikkan. bermain dalam ketidakjelasan, menduga-kira, memanjangkan khayal dari secuil info, menebak keseluruhan hidup teman dari puzzle sas-sus, lalu "merasa" tahu tentang sesuatu yang dia sembunyikan, hmm... bisa memancing rasa bangga. Betapa aneh, karena kadang rasa bangga itu bertaut dengan kedukaan ketika menyadari bahwa "diriku" ternyata masih bisa dibohongi.
Tapi, darimana muncul "rasa dibohongi" itu?
Darimana lahir kedukaan karena menyadari sahabat tidak seideal yang aku bayangkan? Ya, dari cerita-cerita yang seharusnya tidak aku dengar. Cerita-kabar yang memang tidak menjadi milikku.
Karena itu, ketika tadi malam, seorang teman dengan tergopoh-gopoh membuyarkan mimpiku, hanya karena ingin berbagi kabar tentang Non, aku marah. Aku menolak kehadirannya. Aku tidak mau dengar sesuatu yang bukan menjadi hakku. Tapi dia memaksa, "Ini demi masa depan kamu. Kamu harus dengar kabar ini, penting banget..."
Sempat sedikit ragu menguasai benakku. Ada apa dengan Ken? Adakah sesuatu
tentangnya yang tidak aku ketahui? Tapi, lintasan ragu itu segera kuhapus. Aku tepuk bahu sobatku, yang mungkin bermaksud baik. Lalu, sambil duduk, aku sorongkan wafer. "Makanlah," kataku.
"Sebelum kamu ngomongin Non, biarlah aku yang bercerita dulu. Jika sesudah ceritaku ini kamu masih tetap mau ngomongin Ken, aku akan mencoba mendengar."
Temanku itu setuju. Aku pun bercerita tentang Socrates.
Suatu pagi, seorang pria mendatangi Socrates, dan dia berkata, "Tahukah Anda apa yang baru saja saya dengar mengenai salah seorang teman Anda?"
"Tunggu sebentar," jawab socrates. "Sebelum memberitahukan saya sesuatu, saya ingin Anda melewati sebuah ujian kecil. ujian tersebut dinamakan saringan tiga kali."
"Saringan tiga kali?" tanya pria tersebut.
"Betul," lanjut Socrates. "Sebelum Anda mengatakan kepada saya mengenai teman saya, mungkin merupakan hal yang bagus bagi kita untuk menyediakan waktu sejenak dan menyaring apa yang akan Anda katakan. Itulah kenapa saya sebut sebagai saringan tiga kali.
"Saringan yang pertama adalah kebenaran. Sudah pastikah bahwa apa yang anda akan katakan kepada saya adalah kepastian kebenaran?"
"Tidak," kata pria tersebut, "Sesungguhnya saya baru saja mendengarnya dan
ingin memberitahukannya kepada Anda".
"Baiklah," kata Socrates. "Jadi Anda sungguh tidak tahu apakah hal itu benar atau tidak. Hmm... sekarang mari kita coba saringan kedua yaitu kebaikan. Apakah yang akan Anda katakan kepada saya mengenai teman saya adalah sesuatu yang baik?" "Tidak, sebaliknya, mengenai hal yang buruk".
"Jadi," lanjut Socrates, "Anda ingin mengatakan kepada saya sesuatu yang buruk mengenai dia, tetapi Anda tidak yakin kalau itu benar. hmmm... Baiklah Anda mungkin masih bisa lulus ujian selanjutnya, yaitu kegunaan. Apakah yang Anda ingin beritahukan kepada saya tentang teman saya tersebut akan berguna buat saya?" "Tidak, sungguh tidak," jawab pria tersebut.
"Kalau begitu," simpul Socrates, "Jika apa yang Anda ingin beritahukan kepada saya... tidak benar, tidak juga baik, bahkan tidak berguna untuk saya, kenapa ingin menceritakan kepada saya?"
Demikian aku mengakhiri ceritaku tentang Socrates. Kutepuk pundak teman yang sedang termangu "Bagaimana?" tanyaku pada si teman, "Ada berita apa
tentang Ken?" "Ahh, nggak ada apa-apa. thanks ya, wafer kamu enak," katanya, dan pergi setelah menepuk pundakku.
29/5/07
“hey, masih inget ga? AkuRihan,2.5th yang lalu aku satu kantor sama kamu tapi beda departemen, sekarang aku jadi engineering di salah satu customer perusahaanmu.
Sori aku dapet nomer telpon rumah dan nomer ponselmu dari Luna, sudah dikasi tau belum, aku minta tolong tanya, dulu pesan sticker koreksi dimana ya, biar ga kena MOQ, makanya beli ditempat yang sama jadi bisa sekalian, karena bentuknya kan sama… ga keberatan kan?” urai Rihan panjang lebar menjelaskan tujuan utamanya menghubungi Nara malam itu. “gpp lagi, Luna sudah cerita kok” jawab Nara tanpa penasaran sambil menyebutkan nama offset tempat dia pesan barang yang dimaksud Rihan. Beberapa hari sebelumnya Nara sudah dikasi tau Luna, tentang pertemuannya dengan Rihan. Singkat kata Luna kasi nomer dimana Rihan bisa menghubungi Nara, satu-satunya orang yang bisa membantu jawab pertanyaan Rihan yang tidak terjawab oleh Luna.
“dulu aku sering perhatiin kamu, aku juga pernah bantu bawain file kamu yang tercecer waktu mau naik mobil antar jemput…” kenang Rihan “waktu itu
kamu pakai bawahan pendek warna hitam, dan baju lengan pendek motifwarna biru,… kamu bilang terimakasih dan senyum, cantik..., aku tidak pernah lupa” lanjut Rihan coba membantu ingatan Nara mengenang peristiwa yang sudah cukup lama itu. “2 sabtu yang laluaku kekantormu, aku juga liat kamu jalan menuju kantin, pakai celana panjang dan t-shirt warna biru dengan tulisan joger merah, betul kan” cerita Rihan dengan sedikit rasa bangga, karena bisa menceritakan dengan detail, tanpa mengharap jawaban apapun dari Nara. “kok aku ga liat kamu, kenapa waktu itu ga ditegur” jawab Nara sekenanya, karena masih tersanjung dengan cerita Rihan. “dari dulu aku suka mengagumimu dari jauh, inget ga waktu kamu masuk ruanganku dan pinjam computer bu Dede kepala bagianku, kamu pasti ga sadar kalau aku selalu perhatiin kamu, pengen say hai tapi belum siap, karena belum pernah kenal dan ngobrol” kenang Rihan lagi. “hm, inget sih, bukannya ga lama setelah aku masuk kamu ninggalin ruangan” jawab Nara sedikit bangga karena bisa masuk dalam kenangan yang sama. “iya, aku ke ruang lab QA persis disebelah ruanganku, supaya leluasa perhatiin kamu tanpa takut ketahuan kamu dan merasa risi” kalimat Rihan saat ini membuat Nara benar-benar tersanjung dan hanya bisa terpaku mendengar cerita lawan bicaranya. “2.5th adalah waktu yang sangat lama untuk mengumpulkan keberanian menyampaikan sebuah rasaku ke kamu, aku janji pada diri sendiri, setelah aku jadi seseorang, aku pasti akan menemukan kamu lagi” kata Rihan dengan
begitu yakin. Dan kalimat ini benar-benar mengantar angan Nara melayang-layang, “besok aku boleh main kerumah?” tanya Rihan menghentikan angan Nara menuju langit ke tujuh. “jam berapa, kalo jalannya ga macet, biasa aku jam 17.30 sudah dirumah” jawab Nara “ok, aku kerumah 18.30, thanks, sampe ketemu besok” kata Rihan mengakhiri percakapan malam itu.
Nara tersenyum getir mengenang peristiwa pendekatan pertama yang dilakukan
Rihan padanya, yang mirip pejuang mendapatkan kembali cinta sejatinya. Siang bolong yang terik ternyata tidak menyurutkan pikiran Nara untuk mengumbar lamunan tentang masa lalunya yang sebenarnya kurang manis untuk diingat. Buktinya hanya dalam beberapa menit berbaring dia sudah mampu mengingat dialog true storynya dengan mantan kekasihnya, kemudian mengeja kalimat yang diucapkan Rihan sebagai alasan yang cukup klise untuk meninggalkan dia. Nara hafal diluar kepala, beberapa kalimat indah yang dulu sering membuat dia tersipu malu, hanya dengan mengingatnya. Urutan peristiwa yang historical dan cukup meyakinkan membuat Nara merasa klik sehingga berani berkata Rihan adalah soulmate hidupnya, so sweet story.
Pahit memang, tapi Nara tidak amnesia untuk hanya mengingat kisah cinta selama 3 bulan itu menjadi sebuah kenangan dan pengalaman. “kamu terlalu baik dan terlalu suci buat aku” begitu Nara mengulang alasan Rihan, sebuah kalimat yang indahnya tidak beda jauh dengan yang selalu diucapkan Rihan ketika mereka bersama. Rihan pandai memperlakukan wanita, setiap kata dan sikapnya yang telaten mampu memperkenalkan arti cinta dan saling kepada Nara, bahkan membuat dia menobatkan diri menjadi wanita terbahagia didunia setelah beberapa minggu menikmati kebersamaan dengan Rihan. Tapi kalimat perpisahan yang indah itu, oleh Nara terasa tidak bermuatan sama sekali, karena terkesan hanya sebagai alasan.
Pagi :
“pagi,pasti udah cantik, take care babe…I love u!”
Siang :
“udah maem?,gimana kerjaan hari ini, kalo sebel inget aku ya, biar sebelnya ilang…
I love u sweetheart!”
Sore :
“sampe dimana, kalo udah sampai rumah kabari ya, aku nanti bel rumah pake telpon kantor, aku pulang malem, ada meeting sama customer… miss u honey!”
Setiap hari selalu ada kejutan, akhiran manis yang selalu menutup perbincangan melalui ponsel. Kalimat itu mengiringi hari-hari indah Nara selama 2 bulan 1 minggu terakhir, tanpa terkecuali hari ini. Sore ini Nara kelihatan tidak seperti biasanya, emosinya lebih stabil dan datar. Senyum manis dan bahagianya yang menggambarkan suasana hati yang sedang kasmaran juga tersembunyi. Padahal pertemuan makan malam semalam bukan pertemuan terakhir, karena Rihan minta diantar beli peralatan, kemudian jam 20.00 sudah dijemput temannya yang mau berangkat tugas bareng ke Bogor. Dan kalimat diatas adalah kalimat yang dia dengar sepanjang hari dari Rihan yang baru sampai Bogor jam 3 sore.
Nara sampai rumah tepat 17.40, dia melewatkan ritual sore yang biasa dikerjakan dengan teliti. Sore itu dia hanya melepas sepatu, meletakkan tas dan cuci kaki. Tanpa mandi atau sekedar menukar seragam dengan baju rumah, Nara langsung berbaring, tidak tepat diatas busa, hanya bersandar diujung sofa sambil relaksasi, dengan mengangkat kedua kakinya ketembok, matanya memandang keatap kamar dengan tatapan sangat tajam. Nara terkesan sedang meneliti sesuatu dan mencari sebuah jawab diatas disana, belum genap 10 menit dari kegiatan istimewanya sore itu, sebuah pesan masuk dari ponselnya.
“sudah dirumah, babe” pesan singkat Rihan, “sudah” reply Nara tanpa passion yang kemarin. Hanya selisih beberapa detik dari itu telpon rumah dikamar Nara berbunyi.
“lagi ngapain, udah mandi…hm, udah kangen nih, kamu kangen ga” tanya Rihan dari seberang dengan nada berbunga-bunga, “belum..” jawab Nara tanpa basa basi, dan melanjutkan dengan sedikit senyuman tertahan untuk menjawab pertanyaan terakhir. Rihan merasa ada yang janggal dengan intonasi Nara, dan untuk meyakinkan hatinya Rihan mengulang pertanyaan “kamu kenapa sih, sakit?…atau baru mikirin sesuatu?”.
“gpp kok, lagi tiduran” jawabnya sedikit focus dengan perbincangan itu. “bener kamu gpp? Kalo ada sesuatu ngomong ya, jangan diem, aku bingung... aku sayang kamu” lanjut Rihan. “beneran gpp kok..” ulang Nara sekali lagi tanpa intonasi yang membalas rasa lawan bicaranya. “kamu pasti lagi mikir tentang hubungan kita kan, tentang aku yang masih ngrokok dan tentang keyakinan kita, if I can see your eyes now…” berondongan pertanyaan Rihan tersebut cukup membuat Nara gugup dan tidak bisa menjawab pertanyaan dengan segera, tapi bukan Nara kalo tidak bisa mengendalikan intonasi dalam percakapan. “gpp…sudah tutup dulu, kamu nanti kan meeting, sudah dipanggil temenmu tuh” begitu Nara ingin mengakhiri perbincangan sore itu, untung saja kegugupannya membuat dia konsen jadi bisa mendengar dengan jelas suara dari seberang, seperti suara pintu, disusul suara memanggil nama Rihan dan ngajak jalan ke customer.
Malam itu menjadi malam analisa yang luar biasa berat bagi Nara, dia berpikir mungkin ini yang dinamakan kekuatan cinta, karena Rihan mampu membaca isi otak Nara tentang apa yang Nara rasa dan pikirkan hanya dalam sebuah perbincangan yang dirasa tidak seperti biasa tanpa mendengar keluhan atau sekedar penggalan kata dari Nara yang memberi gambaran tentang isi hatinya. Kalimat terakhir Rihan, if I can see your eyes now, menjadi sebentuk cara yang digunakan Rihan untuk mengatakan, bahwa sore itu kata gpp dari Nara bukan kata yang sebenarnya. Diartikan oleh Nara sebagai keyakinan Rihan bahwa dia bisa menemukan jawab atas perubahan yang dibuat Nara sore itu. Nara membawa kegalauan hati dan kesimpulan atas peristiwa sore itu, dengan meyakinkan dirinya sendiri, bahwa Rihan adalah pasangan jiwanya.
Sehingga mampu mengeliminasi beberapa hal yang sebelumnya dia catat dan tentukan sebagai criteria pasangan hidupnya. “Ya, Rihan cukup memenuhi syarat, semuanya bisa disempurnakan dalam perjalanan proses kedepan..” ujar Nara yakin malam itu, seolah mentolerir beberapa sikap Rihan. Rihan yang labil, Rihan yang perokok dan Rihan yang belum bertobat. Benar saja Nara tidak pernah terlihat seyakin pagi itu.
1.30
Babe, honey, sweetheart, adalah beberapa pilihan nama baru. Meskipun pertama kali mendengar, Nara merasa lucu dan asing dengan sebutan nama baru itu, tapi karena dia harus mendengarnya setiap hari sebagai konsumsi pagi, siang, sore dan malam, sperti orang minum obat lebih satu, lama kelamaan telinganya jadi terbiasa, sambil sesekali dengan sadar menirukannya dengan tambahan too.
Besar harapan Nara tentang hari ini, bahwa hari ini adalah awal dari sebuah hubungan cinta yang mantap dan sempurna, dia begitu yakin akan menemukan hari-hari yang lebih indah diwaktu yang akan datang bersama Rihan. Nara tidak mudah jatuh cinta, dan Rihan adalah orang yang pertama kali membuka hati dan perasaan Nara untuk paham arti cinta dan saling. Sehingga mampu meruntuhkan rasa takut ditinggalkan, yang menjadi belenggu bagi Nara untuk membuka hati dan memulai hubungan dengan lawan jenis. Rasa takut itu pula yang seringkali digunakan Nara untuk membunuh rasa-rasa yang muncul dihatinya.
Diluar harapan, enam hari setelah adegan romantis satu babak itu, Rihan sulit dihubungi, alasan meeting dan keluar kantor selalu dilontarkan oleh petugas operator telpon kantornya, beberapa menit setelah Nara mendengar nada dari telpon yang dihold, karena operator harus memastikan Rihan bersedia menerima telpon dari orang yang disebutkan namanya atau tidak.
Melalui ponsel juga tidak diangkat, setelah dicoba beberapa kali baru kemudian tidak aktif. Beberapa kali telpon rumah tidak ada. Bisa ditebak ini merupakan rasa tersulit dalam hidup Nara, mungkin lebih sulit dibanding pasca sepeninggal ibunya beberapa bulan yang lalu.
Nara tidak tau harus melakukan apa, untuk bisa menanyakan apa yang sedang terjadi atau sekedar bertanya apa kabar kepada Rihan. Hari pertama sampai dengan ketiga merupakan hari yang sangat meresahkan hatinya, betapa tidak, Rihan yang biasa mengumbar romantisme ditelpon empat kali sehari, sudah memberi kebiasaan baru yang indah bagi Nara, dan seminggu ini dia harus berpuasa dari suara yang mampu membangun sebuah rasa yang sudah mencandui hidupnya. Nara sempat berhasil menghubungi Rihan lima kali, tapi dia tidak menemukan perbincangan yang menjawab keresahannya, selain beberapa alasan Rihan yang sedang sibuklah, banyak masalah dikantor, laptopnya rusaklah dan dia mau keluar dari kantornya karena komunitas dan kerjaannya yang sekarang sudah sangat membosankan. Sebuah jawaban yang sama sekali berlawanan dengan kondisinya beberapa minggu lalu. Sebelumnya Rihan begitu bangga dan menikmati program, visi dan segala tugasnya dikantor. Dia selalu menceritakan pekerjaannya dengan antusias dan mengatakan bahwa Nara adalah inpirasi dan motivasi bagi dia. Dari perbincangan terakhir apakah dia ingin menyampaikan bahwa Nara tidak berarti lagi bagi dia? Bahwa Nara tidak bisa lagi menjadi motivasi dan inspirasi bagi hidupnya? Pernyataan-pernyataan yang tersirat dari perbincangan terakhir menjadi pertanyaan tak terjawab bagi Nara yang sangat mengganggu pikirannya. Rasa dari dalam jiwanya menjalar ketubuhnya dan keseimbangan tubuhnya yang terganggu membuat Nara harus beristirahat dirumah. Nara gunakan waktu itu untuk berpikir ulang tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam hubungannya. Sambil terus coba mencari jawab atas perubahan drastis Rihan yang cukup membuat dia shock. Hari ke 14 yang jatuh pada 9 September, digunakan Nara untuk sekali lagi menghubungi Rihan, untuk mengucapkan selamat untuk hari jadinya yang jatuh pada hari itu. Nara sudah siapkan sebuah buku the bright of life yang pernah ingin dimiliki Rihan sebagai kado dan sebuah kartu panjang pembatas buku. Tidak banyak keinginan dihatinya selain bisa berbicara dengan Rihan hari itu. Hari yang seharusnya bisa menjadi moment romantis karena ada yang dirayakan menjadi hari mendung yang semakin jelas karena telah lewat begitu saja hanya dengan percakapan tidak harmonis diantara mereka. “besok sore aku jelaskan sesuatu?” begitu Rihan mengakhiri percakapan mereka, tanpa sepatahpun kata indah yang biasa disisipkan.
“kamu belum mengenal aku yang sebenarnya, aku punya masa lalu yang tidak baik yang belum kamu ketahui, dan hubungan baik kita selama ini terlalu dini untuk melahirkan sebuah cinta, kamu tau maksudku kan? Cinta kita terlahir prematur, kamu terlalu baik dan terlalu suci untukku” kalimat panjang yang terucap dari Rihan sesaat setelah Nara berkata hallo.
“bagiku masa lalu bukan hal penting, karena yang terpenting adalah kini dan nanti yang akan kita lalui bersama, dan mengenai aku bagimu, aku menganggap hanya sebuah alasan dari sebuah keinginan jangan ada ikatan diantara kita…” kata Nara tidak kalah panjang, “kalo putus adalah sesuatu yang membuat hidupmu kembali normal dan bergairah, tidak masalah” lanjut Nara dengan intonasi tenang dan tidak bergetar sedikitpun, sangat tidak berimbang dengan air mata yang mengalir deras akibat perasaannya yang sangat terkoyak. “begitu ringannya kamu ucapkan kata putus” jawaban Rihan semakin keliatan kosong dan pura-pura bagi Nara “aku tau selama tiga minggu ini kamu mencari dan mempersiapkan alasan yang tepat untuk mengakhiri hubungan kita, yang dipaksa harus keluar dari mulutku, dan menurutmu tidak adil buat aku kalo harus kamu yang menyampaikannya, dan kamu berhasil, karena aku sudah menangkap keinginanmu jauh sebelum kamu sampaikan alasan tidak berbobot itu” lanjut Nara dengan nada vonis.
“trimakasih untuk semua rasa yang pernah kamu beri, God bless u!” kemudian Nara menutup telpon dan menangis sejadi-jadinya dikamar. Paling tidak dia sudah sampaikan semua isi hatinya dan lega, sekalipun kelegaan yang menyisakan perih.
Nara bangun dari tempat pembaringan, menyadar dari lamunan panjangnya yang indah dan berakhir pahit. Dia kembali mengingat beberapa perbincangan lucu yang lahir dari kepolosannya suatu malam “aku pengen siomay” kata Nara “apa ciuman? Mau, mau” jawab Rihan antusias “siomay, siomay” jelas Nara lagi “bener… pengen ciuman?” ulang Rihan tanpa bermaksud menggoda, karena memang itu yang dia dengar. “sio-may, genit ih” begitu Nara mengeja kalimat yang dia maksud “oooo… siomay, yang jelas dong kalo ngomong” jawab Rihan, tidak terlihat bagaimana raut wajahnya waktu itu. Percakapan yang begitu saja melintas di benak Nara, dianggap sebagai salah satu sebab berakhirnya hubungan mereka yang tidak pernah diwarnai dengan kissing yang mungkin selalu ada dalam sebuah hubungan asmara.
“Ah sudahlah, dicari penyebabnyapun tidak akan ada gunanya, karena penyebab sebenarnya hanya disimpan oleh Rihan dan Sang Maha tau. Paling tidak aku dapat satu perbendaharaan kata sulit yang keluar dari mulut Rihan, bahwa ada cinta prematur” gumam Nara sambil tersenyum dan mengulang-ulang dua kata unik itu. Dan hubungan singkat itu telah menginspirasi Nara, belajar banyak dari seorang Rihan yang pemikir, berbahasa sulit dan memiliki 1001 daftar mimpi.
Selamat berbahagia bersama orang yang menurutmu tepat, sebentuk doa Nara untuk Rihan, tulus.