Kalau ditanya apa yang istimewa di hari ibu, mungkin hari ini adalah hari yang istimewa buat aku. Berbincang ekslusive dengan beberapa wanita yang berbagi pengalaman yang sangat inspiratif.
Mengingatkan aku tentang hidupku yang memang pada masa kecil tidak seberuntung mereka. Sepahit apapun kenangan yang diceritakan tetap menjadi bagian terindah yang saya dengar. Karena memang saya tidak pernah punya hal indah yang berbau kemesraan yang bisa dikenang. Jika memaksa untuk recall, hanya sedikit didikan keras yang terlihat tanpa tujuan. Sebab memang beliau tidak pernah menyampaikan alasan ketika melakukan sesuatu. Belakangan baru sadar bahwa adegan-adegan itu adalah bagian dari rencana sang mahakarya Cinta untuk hidupku.
Suka sekali karena menerima banyak sekali pesan moral melalui ponsel. Sangat menginspirasi. Mendengar banyak syair lagu berkumandang tentang ucapan terimakasih kepada Ibu. Cukup menguras emosi dan membuat airmata tak terbendung. Sudah ditahan sedemikian rupa waktu talkshow berlangsung, tetap saja jebol diakhir acara. Mungkin karena sempat terselip pikiran, saya tidak pernah ada kesempatan mengucapkan selamat hari ibu atau sekedar mengucapkan terimakasih sewaktu beliau ada. Orang bilang saya cengeng, tapi saya lebih suka mendengar kata bijak seorang teman baru saya Ibu Sri Redjeki yang berkata, bahwa menangis adalah bentuk sebuah kelembutan hati dan ekspresi nurani yang masih hidup.
Di jaman modern peranan ibu mulai bergeser. Pada jaman dahulu fungsi scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu) masih sangat dominan. Proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia ini seiring dengan kemajuan jaman berubah menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah) yang menggantikan peran orang tua. Alma mater, kemudian menjadi istilah yang sangat populer sebagai ibu asuh atau ibu yang memberikan ilmu.
Perubahan dan perkembangan jaman memang tidak secara otomatis membawa kemajuan dalam peran seorang ibu. Indonesia, sebagai negara berkembang juga tidak terlepas dari pengaruh globalisasi ini. Tetapi yang harus kita ingat, bahwa kasih ibu tetap dan tidak berubah. Keadaanlah yang berubah.
Ada sebuah kisah menarik, dari negeri Jepang. Biasanya stereotip yang melekat di benak kita jika mendengar kata Jepang adalah etika kerja atau etos kerja, kemudian pendidikan, kebudayaan atau kemajuan ekonomi. Hal ini bukan hal baru, karena memang sejak kecil anak-anak Jepang diajarkan menyukai buku dan menghormati budaya oleh orang tuanya terutama ibu.
Seorang pendidik Amerika, Tony Dickensheets, selama beberapa bulan di tahun 1996 hidup berpindah-pindah di keluarga Jepang dan mengamati. Penelitiannya menyimpulkan, unsur kunci dari economic miracle (keajaiban ekonomi) Jepang adalah Kyoiku Mama atau education mama (pendidikan yang diberikan oleh ibu). Sementara kebanyakan orang mungkin menganggap etika kerja karyawan yang biasa berbaju biru tua lah penggerak utama sukses ekonomi terbesar dalam sejarah modern.
Hal berbeda yang patut kita tiru dari ibu-ibu di Jepang adalah anggapan bahwa seorang ibu seharusnya berpendidikan dan berpengetahuan agar mampu mengasuh sekaligus membesarkan putra-putri dengan baik dan benar. Tony Dickensheets, mengatakan ini sebagai a pure Japanese phenomenon.
Bangsa kita mungkin sudah tidak lagi memandang peran ibu hanya sebagai pendamping suami, melahirkan anak, membesarkannya, sekaligus mengurus rumah tangga memasak, dsb. Tetapi juga sebagai wanita pekerja.
Di jaman modern peranan ibu mulai bergeser. Pada jaman dahulu fungsi scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu) masih sangat dominan. Proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia ini seiring dengan kemajuan jaman berubah menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah) yang menggantikan peran orang tua. Alma mater, kemudian menjadi istilah yang sangat populer sebagai ibu asuh atau ibu yang memberikan ilmu.
Perubahan dan perkembangan jaman memang tidak secara otomatis membawa kemajuan dalam peran seorang ibu. Indonesia, sebagai negara berkembang juga tidak terlepas dari pengaruh globalisasi ini. Tetapi yang harus kita ingat, bahwa kasih ibu tetap dan tidak berubah. Keadaanlah yang berubah.
Ada sebuah kisah menarik, dari negeri Jepang. Biasanya stereotip yang melekat di benak kita jika mendengar kata Jepang adalah etika kerja atau etos kerja, kemudian pendidikan, kebudayaan atau kemajuan ekonomi. Hal ini bukan hal baru, karena memang sejak kecil anak-anak Jepang diajarkan menyukai buku dan menghormati budaya oleh orang tuanya terutama ibu.
Seorang pendidik Amerika, Tony Dickensheets, selama beberapa bulan di tahun 1996 hidup berpindah-pindah di keluarga Jepang dan mengamati. Penelitiannya menyimpulkan, unsur kunci dari economic miracle (keajaiban ekonomi) Jepang adalah Kyoiku Mama atau education mama (pendidikan yang diberikan oleh ibu). Sementara kebanyakan orang mungkin menganggap etika kerja karyawan yang biasa berbaju biru tua lah penggerak utama sukses ekonomi terbesar dalam sejarah modern.
Hal berbeda yang patut kita tiru dari ibu-ibu di Jepang adalah anggapan bahwa seorang ibu seharusnya berpendidikan dan berpengetahuan agar mampu mengasuh sekaligus membesarkan putra-putri dengan baik dan benar. Tony Dickensheets, mengatakan ini sebagai a pure Japanese phenomenon.
Bangsa kita mungkin sudah tidak lagi memandang peran ibu hanya sebagai pendamping suami, melahirkan anak, membesarkannya, sekaligus mengurus rumah tangga memasak, dsb. Tetapi juga sebagai wanita pekerja.
Hal ini mengingatkan saya kepada Ibu Vita Wardoyo pengelola dynargie, salah satu teman baru saya dalam talkshow, beliau sering menyampaikan wanita itu tercipta multitasking, bahkan menjadi suatu keharusan di era globalisasi seperti sekarang ini. Dan hari ini diulang lagi.
Ada anggapan perempuan berpendidikan tinggi yang hanya tinggal di rumah, telah menyia-nyiakan waktu dan kemampuannya. Hal ini mungkin benar, jika memang di rumahpun wanita ini tidak berkarya atau tidak sedang melakukan apapun, baik untuk orang-orang disekitarnya ataupun untuk dirinya sendiri.
Banyak hal inspiratif yang disampaikan waktu saya mengajukan pertanyaan, bagaimana wanita menyikapi jaman yang kedepan tidak semakin mudah. Meskipun secara teknologi memang serba mudah.
Teman saya yang berikutnya Ibu Cindy Bachtiar pemilik Vina House berkata, kita harus melakukan segala sesuatu empat kali lipat (yang familiar di telinga kita adalah dua kali lipat). Hal ini menunjuk kepada usaha kita dalam mengerjakan segala sesuatu dituntut sebuah totalitas, usaha yang sungguh-sungguh maksimal atau biasa kita kenal dengan titik darah penghabisan. Artinya kita sudah mengusahakan segala cara yang bisa kita lakukan (80% dari 100%) itu ada dalam kendali kita, sementara 20% berada diluar kendali kita. Mengapa demikian, supaya kedepan tidak pernah ada rasa menyesal jika tiba-tiba kita di reminder akan sebuah kondisi dimasa lalu, atau kita dibawa untuk berpikir ulang tentang usaha kita dimasa lampau.
Now, saya tidak harus menyesal karena kesempatan saya berterimakasih kepada ibu yang sepertinya saya sia-siakan semasa beliau hidup. Sebaliknya, keberadaan saya saat ini mungkin adalah mimpi beliau yang tidak pernah sempat diucapkan, yang kemudian dianugerahkan menjadi mimpi saya. Dari waktu ke waktu dipertemukan dengan banyak orang hebat dan luar biasa, yang sangat isnpiratif dan berhasil dalam hidupnya melalui berbagai bidang. hal ini membuat saya tidak ada kata lain selain bersyukur atas hidupku. Tuhan membawa saya pada wujud dari sesuatu yang semula hanya sebuah mimpi dan kerinduan tak terucap. Hal besar atau kecil, tetap saja itu adalah anugerah indah dalam hidup saya. Dan kembali, bersyukur adalah kunci bahagia.
Menyadari sebuah destiny bahwa wanita dianugerahi kekuatan luar biasa yang tidak dimiliki lawan jenis, yaitu Cinta yang menguatkan langkah orang yang bersamanya, Empati yang membangkitkan mereka yang jatuh dan kesetiaan yang tidak lekang oleh waktu dan perubahan.
wanita dapat mengatasi beban hidup, mampu menyimpan kebahagiaan dan pendapatnya sendiri. Tetap jalani destiny kita dalam TUHAN!
Indie 221211
Tidak ada komentar:
Posting Komentar