Saya punya tas yang
dari dulu biasa saya bawa setiap kali mau latian dipusat kebugaran. Dimanapun
saya bergabung saya selalu menggunakan tas yang sama dengan isi yang tidak
pernah berubah, bahkan bisa dibilang untuk barang tertentu tidak pernah saya
keluarkan dari tas tersebut. Sudah jadi kebiasaan kalau saya mengeluarkan dari
tas perlengkapan yang setelah latihan akan saya gunakan, tapi malam itu karena
waktu saya buru-buru pulang dan batal memakai perlengkapan yang sudah saya siapkan.
Sesampai dirumah, saya
ambil beberapa perlengkapan yang biasa saya bawa di tas kerja harian. Ketika saya
periksa ternyata ada perlengkapan yang tertinggal. Saya iseng langsung menelpon
pusat kebugaran untuk menanyakan. Meskipun bukan barang mahal tapi jawaban dari
seberang membuat saya sedikit tersenyum lega. Jawabannya terdengar yakin, polos
dan senang. Mungkin karena dia bisa membantu saya. Sebut saja mbak A yang
melayani telpon saya mengatakan, kalau barang yang saya maksud memang
tertinggal di loker yang tadi sore saya pakai untuk menyimpan tas. Si A berjanji akan menyimpankan barang tersebut untuk saya sebelum saya menutup telpon.
Tiga hari kemudian
saya baru tahu kalau ada satu lagi perlengkapan yang tertinggal. Saya kembali
menelpon, hanya tidak menjumpai mbak A, melainkan B. Kemudian saya hanya sebut
detail barang, hari dan loker. Tanpa tahu apakah ditemukan atau tidak.
Selang satu minggu
saya kembali ke pusat kebugaran, dengan yakin meminta barang yang saya
diyakinkan telah ditemukan, tapi ternyata malah yang kembali barang kedua. Sempat
merasa bingung dan aneh, beberapa hari saya kembali, saya selalu iseng kembali
menanyakan dengan B, C, D, E yang saya temui jawabannya sama, tidak ada.
Seperti biasa saya latian
kalau sempat dan tidak malas. Saya kembali datang pada hari diluar kebiasaan. Saya
begitu yakin bahwa si A adalah orang yang ada dalam bayangan saya. Dan benar
begitu masuk ruang ganti, saya melihat si A. Sempat melihat adegan dia sedang
dikerjain, sama temannya, sambil melempar kata yang terkesan menyudutkan. Meski
hanya sekilas memperhatikan saya menangkap, si A menanggapi hal itu dengan
santai, mungkin itu adegan yang sudah biasa terjadi.
Dalam hati saya jadi
semakin yakin. Tapi saya sengaja menunda untuk berkomunikasi. Beberapa saat
sebelum meninggalkan tempat tersebut saya ada kesempatan untuk ngobrol dengan
si A. Senang mendengar penuturannya yang polos dan jujur tentang hal yang
sebenarnya terjadi. “Saya waktu ibu telpon bingung, yang ketinggalan dua kok yang
ditanyain cuma satu, tapi pas saya mau bilang, ibu sudah bilang trimakasih dan
buru-buru nutup telpon", "maaf ya buk, saya seharusnya mau kembalikan barang itu ke ibu tapi barangnya malah tidak ada ditempat simpanan”. Tidak
tahu kenapa saya senang dengar itu. Mungkin karena keyakinan saya
terkonfirmasi. Padahal barang saya yang dia janji simpankan tidak berhasil dia kembalikan karena sudah berpindah tempat tanpa si A ketahui atau ada yang mengingini.
Saya jadi mengingat
ungkapan yang mengatakan orang bodoh adalah makanan orang pintar atau orang
pandai. Apakah itu sejajar dengan orang jujur makanan orang tidak jujur (orang yang
kehilangan kejujuran), atau orang baik makanan orang tidak baik (orang yang kehilangan
kebaikan) dan selanjutnya dan selanjutnya.
Saya menangkap
kejadian ini adalah sebagian kecil dari contoh adegan sederhana yang bisa saya
pelajari, karena yang pasti masih banyak sekali kejadian-kejadian yang lebih
dari ini. Di dunia sekarang ini segala sesuatu serba dimungkinkan.
Termasuk golongan
manapun kita, kalau kita masuk golongan makanan, ada baiknya jika kita
memperlengkapi diri dengan takut akan Tuhan. Karena hanya dari takut akan Tuhan
datang hikmat, perlindungan dan kebahagiaan.
Kita bisa disenangkan dengan sebuah keyakinan yang terkonfirmasi, sekalipun dasarnya hanya dari feeling kita. Apalagi jika kita meyakini sesuatu yang berdasar pada Janji Tuhan kemudian kita menerima penggenapan atas janji tersebut. Pasti bisa dibayangkan senang yang kita maksud akan berubah menjadi kebahagiaan yang tidak terkira.
Kita bisa disenangkan dengan sebuah keyakinan yang terkonfirmasi, sekalipun dasarnya hanya dari feeling kita. Apalagi jika kita meyakini sesuatu yang berdasar pada Janji Tuhan kemudian kita menerima penggenapan atas janji tersebut. Pasti bisa dibayangkan senang yang kita maksud akan berubah menjadi kebahagiaan yang tidak terkira.
Indie *200713