Hari ini aku jauh lebih baik, harapanku bukan karena sesuatu yang terjadi disekitarku tapi karena memang hatiku yang mulai memahami arti hati yang merdeka dan berdamai dengan kenyataan.
Tidak seperti beberapa waktu yang lalu, aku punya alasan favorit seperti dibawah ini.
Ternyata aku tidak sekuat kemarin atau hari-hari sebelumnya. Sesuatu diluar dugaanku. sering terjadi dan itu sungguh membuat hatiku bersitegang dengan pikiranku. kemudian lelah.
Suatu hari, aku pernah berpikir, telah bertemu beberapa teman baru yang menawarkan persahabatan yang baik. Meskipun tanpa cerita, tapi paling tidak, ada ketulusan yang bisa aku rasakan. Paling banter joke spontan dan ringan. Untuk beberapa saat aku menikmati kebahagiaan.
Tapi ternyata bahagia itu hanya sebuah pinjaman. Beberapa saat mereka ambil tawaran persahabatan spontan yang telah aku respon dengan baik dan tulus itu. Entah dengan alasan apa. Aku juga katakan persetan dengan alasan-alasan itu.
Aku membaca beberapa adegan ganjil, sebelum penarikan tersebut. Semula otakku sering membentak hatiku, hei, itu asumsi kamu.
Tapi kemudian aku amati lagi, dari bahasa tubuh, dari dialog ketika kami ngobrol, dari kalimat yang terbata-bata ketika menjawab pertanyaan, dari respon yang tidak exciting ketika menanggapi obrolan ringan. Aneh sih… pikirku.
Pikiranku bersegera menunjuk, bahwa sedang ada sutradara (entah satu atau lebih sutradara) yang menganugerahi dia sebuah peran dalam pertemanan ini. Sandiwara basi..!!!
Sepintas terlihat berlebihan. Tapi aku dalam beberapa hal lebih mempercayai intuisiku.
Apalagi begitu banyak peristiwa serupa dimasa lalu.
Terus terang, untuk beberapa waktu lamanya aku sempat terganggu dengan keganjilan yang disodorkon.
Mencoba mencari tahu alasannya secara langsung dari si teman. Tapi tidak ada yang tepat.
Jawaban yang aku dapat lebih menunjuk dan mengarahkan, kepada hembusan opini basi yang tidak asing di telingaku tentang aku, bahkan saking basinya hidungkupun mengendus.
Demi melihat sebuah kenyataan tersebut, aku putuskan untuk melepas tawaran yang sebenarnya sudah aku genggam. Sebab pikirku tidak mungkin juga, aku mempertahankan sesuatu dalam genggamanku jika ditarik kembali oleh si pemberi, nanti malah rusak.
Ada yang hilang? Pasti.., tapi kalo ternyata hal itu membuat aku lega, tetap harus aku lakukan.
Sementara aku sendiri memang tidak pernah tertarik dengan serangan balik, dan atau apalah tepatnya, yang isinya mengatas namakan pembelaan diri, pembenaran diri.
Toh suatu saat kebenaran itu akan muncul, begitu pikirku. Meskipun ada sedikit senyum tawar yang kadang menghiasi raut wajahku ketika aku diperhadapkan kembali pada situasi yang mengharuskan aku berpikir tentang hal “kebenaran itu akan muncul”. Karena aku sendiri juga tidak tau dengan tepat kapan waktunya.
Modalku tentang hal itu hanya percaya. Sumpah!!
Meskipun jujur ada sedikit, sedikit sekali rasa sesal. Kenapa aku menyambut tawaran tersebut dengan menggelontorkan begitu saja segala ketulusan dan kebaikan kalo pada akhirnya seperti ini.
Sedikit umpat, sedikit sekali, ternyata hanya sebatas itu. Pikirku sok wise, karena umur dan pengalaman juga sih. Lain-lain tidak harus dipublikasi.
Tapi dasar aku!! Begitu kira-kira aku mengumpat diriku. Dalam pemikiran tentang tugas dan hal hal yang baik memang dewasa, tapi dalam hal-hal tertentu (maaf seperti contoh kelicikan dan kejahatan) seperti bocah atau anak-anak.
Seperti bocah yang selalu saja kegirangan ketika menerima sebuah pemberian.
Kemudian mengingatnya baik-baik dari waktu ke waktu.
Menanti-nantikan saatnya dengan penuh antusias dan gairah.
Tanpa berpikir ulang. Hanya kegirangan yang memenuhi hatinya.
Sounds konyol sih… tapi aku sadar itulah aku dengan segala keterbatasanku.
Sebenarnya aku bukannya tidak tahu raut mereka yang bersorak “berhasil-berhasil” seperti si dora yang kegirangan setiap kali berhasil menjalankan misi dengan sempurna. Fulgarnya, berhasil memperdaya aku tanpa sepengetahuanku. Tanpa mereka tahu, bahwa sebenarnya akupun juga ingin selalu bahagia untuk kebahagiaan mereka. Dengan atau tanpa aku didalamnya.
Aku lebih memilih kemenangan sejatiku dalam diam. Dan bersorak dalam hati, sesungguhnya akulah sang pemenang, karena sudah berhasil mundur dan mengalah dari sebuah medan tempur yang sama sekali tidak penting itu.
Dari sini berangsur-angsur aku berhasil menggeser hatiku ke arah yang lebih benar. Tetap dalam ketulusan.
Melepas sesuatu yang tidak harus digenggam dan tersenyum.
Bahagia, sangat bahagia. Kembali tersadar - Inilah hidup.
Sesekali kita perlu untuk berdamai dengan kenyataan. Yang memang membutuhkan kebesaran hati.
Aku sengaja memberi kadar serba sedikit untuk hal-hal kurang terpuji dalam diriku, toh serba sedikit itupun ternyata tetap mengkamiri hatiku yang biasa baik dan tulus. (ehm, narsis.com - dilarang protes)
Hahaha, sekali lagi aku tertawa bahagia, lepas, bangga, bahkan bisa dibilang sedikit sombong karena sejelek-jeleknya aku, aku tidak pernah sejahat mereka yang ada disekitarku. Yang tidak mengerti bahwa kasih itu memberi.
Tidak seperti beberapa waktu yang lalu, aku punya alasan favorit seperti dibawah ini.
Ternyata aku tidak sekuat kemarin atau hari-hari sebelumnya. Sesuatu diluar dugaanku. sering terjadi dan itu sungguh membuat hatiku bersitegang dengan pikiranku. kemudian lelah.
Suatu hari, aku pernah berpikir, telah bertemu beberapa teman baru yang menawarkan persahabatan yang baik. Meskipun tanpa cerita, tapi paling tidak, ada ketulusan yang bisa aku rasakan. Paling banter joke spontan dan ringan. Untuk beberapa saat aku menikmati kebahagiaan.
Tapi ternyata bahagia itu hanya sebuah pinjaman. Beberapa saat mereka ambil tawaran persahabatan spontan yang telah aku respon dengan baik dan tulus itu. Entah dengan alasan apa. Aku juga katakan persetan dengan alasan-alasan itu.
Aku membaca beberapa adegan ganjil, sebelum penarikan tersebut. Semula otakku sering membentak hatiku, hei, itu asumsi kamu.
Tapi kemudian aku amati lagi, dari bahasa tubuh, dari dialog ketika kami ngobrol, dari kalimat yang terbata-bata ketika menjawab pertanyaan, dari respon yang tidak exciting ketika menanggapi obrolan ringan. Aneh sih… pikirku.
Pikiranku bersegera menunjuk, bahwa sedang ada sutradara (entah satu atau lebih sutradara) yang menganugerahi dia sebuah peran dalam pertemanan ini. Sandiwara basi..!!!
Sepintas terlihat berlebihan. Tapi aku dalam beberapa hal lebih mempercayai intuisiku.
Apalagi begitu banyak peristiwa serupa dimasa lalu.
Terus terang, untuk beberapa waktu lamanya aku sempat terganggu dengan keganjilan yang disodorkon.
Mencoba mencari tahu alasannya secara langsung dari si teman. Tapi tidak ada yang tepat.
Jawaban yang aku dapat lebih menunjuk dan mengarahkan, kepada hembusan opini basi yang tidak asing di telingaku tentang aku, bahkan saking basinya hidungkupun mengendus.
Demi melihat sebuah kenyataan tersebut, aku putuskan untuk melepas tawaran yang sebenarnya sudah aku genggam. Sebab pikirku tidak mungkin juga, aku mempertahankan sesuatu dalam genggamanku jika ditarik kembali oleh si pemberi, nanti malah rusak.
Ada yang hilang? Pasti.., tapi kalo ternyata hal itu membuat aku lega, tetap harus aku lakukan.
Sementara aku sendiri memang tidak pernah tertarik dengan serangan balik, dan atau apalah tepatnya, yang isinya mengatas namakan pembelaan diri, pembenaran diri.
Toh suatu saat kebenaran itu akan muncul, begitu pikirku. Meskipun ada sedikit senyum tawar yang kadang menghiasi raut wajahku ketika aku diperhadapkan kembali pada situasi yang mengharuskan aku berpikir tentang hal “kebenaran itu akan muncul”. Karena aku sendiri juga tidak tau dengan tepat kapan waktunya.
Modalku tentang hal itu hanya percaya. Sumpah!!
Meskipun jujur ada sedikit, sedikit sekali rasa sesal. Kenapa aku menyambut tawaran tersebut dengan menggelontorkan begitu saja segala ketulusan dan kebaikan kalo pada akhirnya seperti ini.
Sedikit umpat, sedikit sekali, ternyata hanya sebatas itu. Pikirku sok wise, karena umur dan pengalaman juga sih. Lain-lain tidak harus dipublikasi.
Tapi dasar aku!! Begitu kira-kira aku mengumpat diriku. Dalam pemikiran tentang tugas dan hal hal yang baik memang dewasa, tapi dalam hal-hal tertentu (maaf seperti contoh kelicikan dan kejahatan) seperti bocah atau anak-anak.
Seperti bocah yang selalu saja kegirangan ketika menerima sebuah pemberian.
Kemudian mengingatnya baik-baik dari waktu ke waktu.
Menanti-nantikan saatnya dengan penuh antusias dan gairah.
Tanpa berpikir ulang. Hanya kegirangan yang memenuhi hatinya.
Sounds konyol sih… tapi aku sadar itulah aku dengan segala keterbatasanku.
Sebenarnya aku bukannya tidak tahu raut mereka yang bersorak “berhasil-berhasil” seperti si dora yang kegirangan setiap kali berhasil menjalankan misi dengan sempurna. Fulgarnya, berhasil memperdaya aku tanpa sepengetahuanku. Tanpa mereka tahu, bahwa sebenarnya akupun juga ingin selalu bahagia untuk kebahagiaan mereka. Dengan atau tanpa aku didalamnya.
Aku lebih memilih kemenangan sejatiku dalam diam. Dan bersorak dalam hati, sesungguhnya akulah sang pemenang, karena sudah berhasil mundur dan mengalah dari sebuah medan tempur yang sama sekali tidak penting itu.
Dari sini berangsur-angsur aku berhasil menggeser hatiku ke arah yang lebih benar. Tetap dalam ketulusan.
Melepas sesuatu yang tidak harus digenggam dan tersenyum.
Bahagia, sangat bahagia. Kembali tersadar - Inilah hidup.
Sesekali kita perlu untuk berdamai dengan kenyataan. Yang memang membutuhkan kebesaran hati.
Aku sengaja memberi kadar serba sedikit untuk hal-hal kurang terpuji dalam diriku, toh serba sedikit itupun ternyata tetap mengkamiri hatiku yang biasa baik dan tulus. (ehm, narsis.com - dilarang protes)
Hahaha, sekali lagi aku tertawa bahagia, lepas, bangga, bahkan bisa dibilang sedikit sombong karena sejelek-jeleknya aku, aku tidak pernah sejahat mereka yang ada disekitarku. Yang tidak mengerti bahwa kasih itu memberi.
Satu vocab baru aku dapat, ternyata Bahagia itu harus dari dalam hati dan dianugerahkan oleh Sang Pemberi Hidup. Selain itu yang berasal dari luar adalah "Pinjaman Bahagia".
Pendapat ini masih terbuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar