Kamis, 23 Mei 2013

PENANAMAN NILAI




Renungan hari ini saya mendapat teguran bahwa kebenaran merupakan sebuah nilai yang harus dihidupi sebagai gaya hidup untuk melahirkan sebuah karakter. Bukan sebagai sebuah hukum maupun peraturan yang harus dipatuhi. Karena hukum selalu berakibat atau melahirkan pelanggaran.
Terkait dengan renungan saya hari ini, tiba-tiba saya ingat perbincangan sekilas dengan seseorang kemarin sore yang mengatakan bahwa masyarakat atau sekumpulan manusia tidak bisa dibentuk dengan sebuah peraturan. Karena sebenarnya peraturan itu hanya dibuat untuk mengatur yang tidak bisa diatur dan tidak teratur. Tidak bisa memberi eskalasi nilai dalam hidup seseorang. Awalnya saya sempat sedikit protes dengan ungkapan tersebut, tapi tadi pagi saya bisa kembali memahami, dan menyetujui hal tersebut.
Seperti halnya agama juga hanya mengatur bagaimana manusia menjadi baik secara karakter, didalamnya  cenderung berisi sejumlah hukum dan perintah yang harus dipatuhi untuk melahirkan konsekuensi yang mungkin bisa kita tuai dikemudian hari.
Tapi tanpa internalisasi nilai ditambah anugerah, mustahil kita bisa mematuhi segala hukum yang berlaku dan memiliki kekuatan untuk berjalan dalam jalur yang benar. Sebab pengaruh perkembangan dunia ini memiliki kekuatan begitu besar untuk menghancurkan tatanan nilai dalam hidup manusia yang tidak mengakar dengan kuat. Yang melahirkan keserakahan, kejahatan. Terlebih jika nilai yang didefinisikan dengan angka atau penambahan angka dan hal-hal lain yang bersifat nobility kebendaan. Tanpa sadar kita akan digiring kepada suatu paham money talk much. Dimana ada sumber uang disitu suara dan informasi harus diperdengarkan apapun bentuknya. Ada cacat komunikasi yang berlaku.  

Istilah internalisasi menunjukkan suatu proses. Dalam bahasa Indonesia akhiran-isasi mempunyai definisi proses. Sehingga internalisasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses. Dalam kamus besar bahasa Indonesia internalisasi diartikan sebagai penghayatan, pendalaman, penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui binaan, bimbingan dan sebagainya.

Termasuk teknik pembinaan agama juga dilakukan melalui internalisasi karena membutuhkan pembinaan yang mendalam dan menghayati nilai-nilai religius (agama) yang dipadukan dengan nilai-nilai pendidikan secara utuh yang sasarannya menyatu dalam kepribadian, sehingga menjadi satu karakter atau watak peserta didik.

Dalam kerangka psikologis, internalisasi diartikan sebagai penggabungan atau penyatuan sikap, standart tingkah laku, pendapat dan seterusnya di dalam kepribadian. Ada yang meyakini bahwa superego, atau aspek moral kepribadian berasal dari internalisasi sikap-sikap parental (orang tua) meskipun pergaulan dan pendidikan dari luar bisa mempengaruhi perubahannya, tapi karena keluarga merupakan pendidikan awal yang sudah dilakukan sejak kecil.

Proses internalisasi sendiri jika dikaitkan dengan pembinaan peserta didik atau anak asuh tiga tahap yang mewakili proses atau tahap terjadinya internalisasi. 
a. Tahap Transformasi Nilai : Tahap ini merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pendidik dalam menginformasikan nilai-nilai yang baik dan kurang baik. Pada tahap ini hanya terjadi komunikasi verbal antara pendidik dan peserta didik atau anak asuh
b. Tahap Transaksi Nilai : Suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi antara peserta didik dengan pendidik yang bersifat interaksi timbal-balik.
c. Tahap Transinternalisasi : Tahap ini jauh lebih mendalam dari tahap transaksi. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan dengan komunikasi verbal tapi juga sikap mental dan kepribadian. Jadi pada tahap ini komunikasi kepribadian yang berperan secara aktif.

Jadi dikaitkan dengan perkembangan manusia, proses internalisasi harus berjalan sesuai dengan tugas-tugas perkembangan karena Internalisasi merupakan sentral proses perubahan kepribadian yang merupakan dimensi kritis pada perolehan atau perubahan diri manusia, termasuk di dalamnya pempribadian makna (nilai) atau implikasi respon terhadap makna.
Berbincang mengenai social culture memang tidak pernah ada habisnya. Sekalipun saya bukan type orang yang telaten dalam hal ini. Menunjuk dari namanya ‘Social’ sudah bisa dipastikan materi tersebut sarat dengan bacaan yang tebal. Baik secara pendalaman ilmu maupun pengetahuan tambahan. Apalagi masalah ‘culture’ atau budaya bila ditarik akan selalu berhubungan dengan karya sastra yang berarti buku. Sementara saya bukan orang yang telaten membaca buku-buku yang tebal, sedang dalam proses belajar untuk telaten membaca. Saya lebih bisa cepat paham jika belajar melalui media visual. Karena itu saya juga suka belajar membaca situasi dan karakter orang, tapi hanya berhenti untuk memamahi saja, bahwa memang aneka karakter tersebut ada di muka bumi ini. Tidak untuk di analisa, pasti melelahkan kalau menganalisa karakter orang.
Nilai baik yang tertanam akan melahirkan kebiasaan yang baik. Bukan hanya dalam kondisi yang baik dan memungkinkan tapi dalam segala kondisi. Aplikasinya juga dalam segala bidang dan dimanapun bukan tertentu pada kelompok tertentu.
Saya pernah mengikuti heritage walk, setelah tiba dikota tujuan, bis parkir disalah satu sisi jalan raya, dan kami peserta diharuskan berjalan menuju ke suatu lokasi tujuan. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam perjalanan itu, tapi yang menarik perhatian saya pada waktu itu adalah seorang warga Negara asing yang sama-sama berjalan menyusuri jalan lebar selesai menyantap roti, kemudian memasukkan bungkusnya kesalah satu saku celananya. Padahal dia bisa saja membuang disembarang tempat seperti yang dilakukan teman-teman seperjalanan saya waktu itu, karena memang itu tempat umum yang kebetulan berdekatan dengan pasar yang tidak terlalu bersih. Tapi dia tidak melakukan hal itu.
Tanpa terasa saya terinspirasi kebiasaan tersebut sebagai kebiasaan baru. Meskipun dari kecil saya punya kebiasaan melipat bungkus makanan atau permen dari bahan apapun menjadi lipatan terkecil, tapi saya belum biasa memasukkannya ke dalam kantong waktu saya belum menjumpai tempat sampah. Ternyata kebiasaan saya itu harus dilanjutkan dari membuat lipatan kecil kemudian dimasukkan kedalam saku atau apapun, asal tidak membuang disembarang tempat atau meninggalkannya begitu saja.
Dari situ saya menangkap bahwa itu adalah yang dinamakan sebuah nilai yang sudah mendarah daging dan menjadi gaya hidup. Sehingga tanpa adanya peraturan, dilarang membuang sampah sembarangan, dia tetap mampu menerapkan nilai itu kemanapun dia pergi.
Masih banyak nilai-nilai lain selain kepedulian, kasih, kejujuran, dan sebagainya. Yang pasti nilai tersebut  bermanfaat bagi diri kita dan orang lain ketika kita menerapkannya dalam sebuah praktik kehidupan dimanapun, kapanpun dan kepada siapapun. Tanpa berpikir siapa yang akan memberikan penilaian khusus bagi kita, karena nilai itu ada dalam diri kita.
Memang kita tidak akan mendapat konsekuensi yang bersifat nobility atau kehormatan yang bisa terlihat oleh mata. Melainkan berupa sebuah keyakinan bahwa kita sudah berjalan dalam nilai hidup yang benar dengan tujuan yang pasti. Dan hanya kita secara pribadi yang menerima nobel tersebut.

Indie *23513

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Abigail Indiana

Foto saya
I am a product of GOD's Grace. Single, Simple person but will always be an extraordinary person. Just a nature, Truth lover, jazzy lover, coffee lover. Selalu mendefinisikan setiap fase hidup dengan ucapan syukur. I love my beloved Savior, He loves me unconditionally.