Renungan
hari ini saya mendapat teguran bahwa kebenaran merupakan sebuah nilai yang
harus dihidupi
sebagai gaya hidup untuk melahirkan sebuah karakter. Bukan sebagai sebuah hukum
maupun peraturan yang harus dipatuhi. Karena hukum selalu berakibat atau melahirkan
pelanggaran.
Terkait
dengan renungan saya hari ini, tiba-tiba saya ingat perbincangan sekilas dengan
seseorang kemarin sore yang mengatakan bahwa masyarakat atau sekumpulan manusia
tidak bisa dibentuk dengan sebuah peraturan. Karena sebenarnya peraturan itu
hanya dibuat untuk mengatur yang tidak bisa diatur dan tidak teratur. Tidak
bisa memberi eskalasi nilai dalam hidup seseorang. Awalnya saya sempat sedikit
protes dengan ungkapan tersebut, tapi tadi pagi saya bisa kembali memahami, dan
menyetujui hal tersebut.
Seperti
halnya agama juga hanya mengatur bagaimana manusia menjadi baik secara
karakter, didalamnya cenderung berisi
sejumlah hukum dan perintah yang harus dipatuhi untuk melahirkan konsekuensi
yang mungkin bisa kita tuai dikemudian hari.
Tapi
tanpa internalisasi nilai ditambah anugerah, mustahil kita bisa mematuhi segala
hukum yang berlaku dan memiliki kekuatan untuk berjalan dalam jalur yang benar.
Sebab pengaruh perkembangan dunia ini memiliki kekuatan begitu besar untuk
menghancurkan tatanan nilai dalam hidup manusia yang tidak mengakar dengan
kuat. Yang melahirkan keserakahan, kejahatan. Terlebih jika nilai yang
didefinisikan dengan angka atau penambahan angka dan hal-hal lain yang bersifat
nobility kebendaan. Tanpa sadar kita akan digiring kepada suatu paham money
talk much. Dimana ada sumber uang disitu suara dan informasi harus
diperdengarkan apapun bentuknya. Ada cacat komunikasi yang berlaku.
Istilah
internalisasi menunjukkan suatu proses. Dalam bahasa Indonesia akhiran-isasi
mempunyai definisi proses. Sehingga internalisasi dapat didefinisikan sebagai
suatu proses. Dalam kamus besar bahasa Indonesia internalisasi diartikan
sebagai penghayatan, pendalaman, penguasaan secara mendalam yang berlangsung
melalui binaan, bimbingan dan sebagainya.
Termasuk teknik pembinaan agama juga dilakukan melalui internalisasi karena
membutuhkan pembinaan yang mendalam dan menghayati nilai-nilai religius (agama) yang dipadukan
dengan nilai-nilai pendidikan secara utuh yang sasarannya menyatu dalam
kepribadian, sehingga menjadi satu karakter atau watak peserta didik.
Dalam kerangka psikologis, internalisasi diartikan sebagai penggabungan atau
penyatuan sikap, standart tingkah laku, pendapat dan seterusnya di dalam
kepribadian. Ada yang meyakini bahwa superego, atau aspek moral kepribadian
berasal dari internalisasi sikap-sikap parental (orang tua) meskipun pergaulan
dan pendidikan dari luar bisa mempengaruhi perubahannya, tapi karena keluarga
merupakan pendidikan awal yang sudah dilakukan sejak kecil.
Proses internalisasi sendiri jika dikaitkan dengan pembinaan peserta didik atau
anak asuh tiga tahap yang mewakili proses atau tahap terjadinya internalisasi.
a. Tahap Transformasi Nilai : Tahap ini merupakan
suatu proses yang dilakukan oleh pendidik dalam menginformasikan nilai-nilai yang baik dan kurang baik. Pada
tahap ini hanya terjadi komunikasi verbal antara pendidik dan peserta didik
atau anak asuh
b. Tahap Transaksi Nilai : Suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan
komunikasi dua arah, atau interaksi antara peserta didik dengan pendidik yang
bersifat interaksi timbal-balik.
c. Tahap Transinternalisasi : Tahap ini jauh lebih mendalam dari tahap
transaksi. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan dengan komunikasi verbal tapi
juga sikap mental dan kepribadian. Jadi pada tahap ini komunikasi kepribadian
yang berperan secara aktif.
Jadi dikaitkan dengan perkembangan manusia, proses internalisasi harus berjalan
sesuai dengan tugas-tugas perkembangan karena Internalisasi merupakan sentral
proses perubahan kepribadian yang merupakan dimensi kritis pada perolehan atau
perubahan diri manusia, termasuk di dalamnya pempribadian makna (nilai) atau
implikasi respon terhadap makna.
Berbincang
mengenai social culture memang tidak pernah ada habisnya. Sekalipun saya bukan
type orang yang telaten dalam hal ini. Menunjuk dari namanya ‘Social’ sudah
bisa dipastikan materi tersebut sarat dengan bacaan yang tebal. Baik secara
pendalaman ilmu maupun pengetahuan tambahan. Apalagi masalah ‘culture’ atau
budaya bila ditarik akan selalu berhubungan dengan karya sastra yang berarti
buku. Sementara saya bukan orang yang telaten membaca buku-buku yang tebal,
sedang dalam proses belajar untuk telaten membaca. Saya lebih bisa cepat paham
jika belajar melalui media visual. Karena itu saya juga suka belajar membaca
situasi dan karakter orang, tapi hanya berhenti untuk memamahi saja, bahwa
memang aneka karakter tersebut ada di muka bumi ini. Tidak untuk di analisa,
pasti melelahkan kalau menganalisa karakter orang.
Nilai
baik yang tertanam akan melahirkan kebiasaan yang baik. Bukan hanya dalam
kondisi yang baik dan memungkinkan tapi dalam segala kondisi. Aplikasinya juga
dalam segala bidang dan dimanapun bukan tertentu pada kelompok tertentu.
Saya pernah
mengikuti heritage walk, setelah tiba dikota tujuan, bis parkir disalah satu
sisi jalan raya, dan kami peserta diharuskan berjalan menuju ke suatu lokasi
tujuan. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam perjalanan itu, tapi yang
menarik perhatian saya pada waktu itu adalah seorang warga Negara asing yang
sama-sama berjalan menyusuri jalan lebar selesai menyantap roti, kemudian
memasukkan bungkusnya kesalah satu saku celananya. Padahal dia bisa saja
membuang disembarang tempat seperti yang dilakukan teman-teman seperjalanan
saya waktu itu, karena memang itu tempat umum yang kebetulan berdekatan dengan
pasar yang tidak terlalu bersih. Tapi dia tidak melakukan hal itu.
Tanpa terasa
saya terinspirasi kebiasaan tersebut sebagai kebiasaan baru. Meskipun dari
kecil saya punya kebiasaan melipat bungkus makanan atau permen dari bahan apapun
menjadi lipatan terkecil, tapi saya belum biasa memasukkannya ke dalam kantong
waktu saya belum menjumpai tempat sampah. Ternyata kebiasaan saya itu harus
dilanjutkan dari membuat lipatan kecil kemudian dimasukkan kedalam saku atau
apapun, asal tidak membuang disembarang tempat atau meninggalkannya begitu
saja.
Dari
situ saya menangkap bahwa itu adalah yang dinamakan sebuah nilai yang sudah
mendarah daging dan menjadi gaya hidup. Sehingga tanpa adanya peraturan,
dilarang membuang sampah sembarangan, dia tetap mampu menerapkan nilai itu
kemanapun dia pergi.
Masih
banyak nilai-nilai lain selain kepedulian, kasih, kejujuran, dan sebagainya. Yang
pasti nilai tersebut bermanfaat bagi
diri kita dan orang lain ketika kita menerapkannya dalam sebuah praktik kehidupan
dimanapun, kapanpun dan kepada siapapun. Tanpa berpikir siapa yang akan
memberikan penilaian khusus bagi kita, karena nilai itu ada dalam diri kita.
Memang
kita tidak akan mendapat konsekuensi yang bersifat nobility atau kehormatan
yang bisa terlihat oleh mata. Melainkan berupa sebuah keyakinan bahwa kita
sudah berjalan dalam nilai hidup yang benar dengan tujuan yang pasti. Dan hanya
kita secara pribadi yang menerima nobel tersebut.
Indie *23513
Tidak ada komentar:
Posting Komentar