Rabu, 10 September 2025

Hari Ini


Hari ini, aku berhenti sejenak,
menghela napas dalam-dalam,
menatap jejak langkah yang telah tertinggal di belakang.
Betapa jauh aku telah berjalan,
melintasi lembah kelam dan bukit sukacita,
menyusuri jalan yang tak selalu mudah,
namun selalu penuh makna.

Tuhan, Engkau adalah penjaga nafasku,
pemilik setiap detik yang Kau tambahkan dalam hidup ini.
Jika waktu adalah benih, Engkaulah Sang Penanam,
menumbuhkannya menjadi hari-hari penuh kasih dan pelajaran.
Tak selalu aku mengerti, tak selalu aku kuat,
namun dalam setiap lelah, Engkau adalah sandaran.

Hari ini, aku berterima kasih pada diriku sendiri,
yang bertahan ketika ingin menyerah,
yang bangkit meski jatuh berkali-kali,
yang belajar mencintai kehidupan,
meski tak selalu ia memberi jawaban yang kuinginkan.

Aku bersyukur untuk setiap luka,
karena di dalamnya, aku menemukan pengharapan.
Aku bersyukur untuk setiap tawa,
karena di dalamnya, aku merasakan kasih-Mu.
Aku bersyukur untuk waktu yang masih Kau titipkan,
agar aku terus berjalan dalam terang-Mu.

Tuhan, tuntun aku dalam tahun yang baru ini,
agar aku hidup bukan sekadar menghitung hari,
tetapi menjadikan setiap hari berarti.
Ajarku untuk terus mencintai, memberi, dan melayani,
karena hidup yang sejati adalah ketika aku hidup dalam-Mu.

Selamat ulang tahun untukku.
Aku akan terus melangkah,
bersama kasih yang tak pernah berkesudahan.

Indie *26/02/25

Minggu, 07 September 2025

Berjumpa Penolakan

Seseorang yang sering berjumpa dengan situasi tertolak, baik dalam relasi pribadi, pekerjaan, atau lingkungan sosial, bisa jadi mengalami hal ini karena kombinasi berbagai faktor. Beberapa penyebab umum yang bisa menjadi latar belakangnya, baik dari sisi internal (diri sendiri) maupun eksternal (lingkungan):

🔍 Penyebab dari Dalam Diri (Internal):

1. Kurangnya rasa percaya diri

Orang yang tampak tidak yakin atau terlalu ragu-ragu bisa dianggap tidak meyakinkan, sehingga tidak dipilih atau diabaikan.

2. Cara komunikasi yang tidak efektif

Misalnya terlalu agresif, terlalu pendiam, atau sulit menyampaikan pikiran dengan jelas dapat menimbulkan kesan yang salah.

3. Luka batin masa lalu (trauma penolakan)

Pengalaman ditolak di masa lalu bisa membuat seseorang terlalu sensitif atau defensif terhadap kemungkinan penolakan baru, hingga akhirnya menciptakan semacam "lingkaran setan".

4. Body language atau ekspresi yang menutup diri

Misalnya tidak kontak mata, postur tertutup, atau tampak tidak tertarik, sehingga orang lain merasa tidak nyaman atau tidak diterima.

5. Perfeksionisme atau kontrol berlebihan

Bisa membuat orang lain merasa tertekan atau tidak bebas saat bersama, dan akhirnya menjauh.

🌐 Penyebab dari Lingkungan (Eksternal):

1. Lingkungan yang toksik atau tidak suportif

Mungkin sebenarnya bukan kesalahan pribadi, tetapi memang berada dalam lingkungan yang penuh persaingan, penghakiman, atau diskriminasi.

2. Perbedaan nilai atau pandangan hidup

Jika seseorang memiliki prinsip atau cara berpikir yang berbeda dengan kebanyakan, dia bisa saja dianggap "aneh", "tidak cocok", dan akhirnya sering ditolak.

3. Kecemburuan atau persaingan

Kadang seseorang ditolak bukan karena kekurangannya, tapi justru karena orang lain merasa terancam oleh potensinya.

4. Label sosial atau stigma

Misalnya latar belakang ekonomi, pendidikan, atau status tertentu bisa membuat seseorang lebih sering ditolak tanpa kesempatan yang adil.

💡 Catatan Rohani (Jika dikaitkan dengan kehidupan iman):

• Dalam beberapa kasus, penolakan bisa menjadi cara Tuhan melindungi atau mengalihkan seseorang dari sesuatu yang bukan bagian dari rencana-Nya.

• Kisah Yesus sendiri dipenuhi dengan penolakan, namun itu tidak mengurangi nilai-Nya, justru menggenapi panggilan-Nya.

Belajar Memandang Penolakan dengan Kacamata Iman dan Pemulihan

Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.” (Yohanes 1:11)

Penolakan bahkan dialami Yesus sendiri. Tapi itu tidak pernah membatalkan siapa Dia dan misi-Nya.

🧠 Poin-Poin Penting

1. Mengapa Kita Sering Ditolak?

Tidak selalu karena kita salah, bisa jadi karena kita berbeda.

Kadang orang menolak bukan karena kita tidak layak, tapi karena mereka tidak siap menerima kebenaran atau keunikan kita.

2. Apa Dampaknya?

Rasa tidak berharga, minder, overthinking, bahkan membenci diri sendiri.

Tapi ini bisa jadi peluang untuk refleksi: Apakah aku menaruh nilai diriku hanya berdasarkan penerimaan orang lain?

3. Apa yang Alkitab Katakan?

Yesus ditolak supaya kita diterima.

Mazmur 27:10: “Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku.

Tuhan tidak membentuk kita supaya disukai semua orang, tapi supaya kita serupa dengan Kristus.

4. Dari Penolakan ke Pengarahan

Kadang penolakan adalah cara Tuhan berkata: “Bukan di sini. Aku sedang mengarahkan kamu ke tempat yang lebih tepat.”

Yusuf ditolak oleh saudara-saudaranya, tapi itu membawanya ke posisi menyelamatkan banyak orang.

1. DARI SISI PSIKOLOGI: “Mengapa Saya Sering Ditolak?”

a. Luka masa kecil (inner wound)

Seseorang yang mengalami penolakan dari orang tua atau lingkungan saat masih kecil bisa membawa luka batin yang belum sembuh. Luka ini memengaruhi cara ia menjalin relasi, membuatnya takut terbuka, atau justru terlalu butuh diterima.

b. Self-fulfilling prophecy

Kalau seseorang sudah yakin akan ditolak, ia bisa secara tidak sadar bersikap atau berinteraksi dengan cara yang membuat penolakan itu terjadi (contoh: terlalu pasif, terlalu defensif, atau malah menguji orang lain).

c. Kurangnya keterampilan sosial

Sulit membaca situasi, berbicara terlalu dominan, atau tidak tahu kapan mendengarkan bisa membuat orang merasa tidak nyaman, lalu menjauh.

d. Standar atau ekspektasi yang tidak realistis

Kadang seseorang merasa tertolak, padahal sebenarnya hanya tidak cocok. Tapi karena ekspektasinya tinggi terhadap penerimaan orang lain, ia merasa ditolak setiap kali tidak mendapatkan reaksi yang diharapkan.

2. DARI SISI IMAN: “Tertolak Bukan Berarti Tak Berharga”

a. Yesus pun ditolak

Yesus sendiri “datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi mereka tidak menerima Dia” (Yohanes 1:11). Penolakan bukan berarti kita salah atau tidak layak, melainkan bisa menjadi bagian dari perjalanan ketaatan dan keserupaan dengan Kristus.

b. Penolakan bisa jadi perlindungan

Kadang Tuhan mengizinkan pintu tertutup, agar kita tidak masuk ke tempat yang salah. Penolakan bisa jadi cara Tuhan melindungi kita dari relasi yang akan menyakiti, dari lingkungan yang akan melemahkan iman kita.

c. Identitas kita tidak ditentukan oleh penerimaan manusia

Efesus 1:6 menyatakan kita “diberikan karunia yang mulia dalam Dia yang dikasihi-Nya.” Artinya, meski dunia menolak, Tuhan sudah menerima kita sepenuhnya. Ini fondasi yang kuat untuk bangkit dari setiap penolakan.

3. DARI SISI PENGALAMAN PRIBADI: “Belajar Bertumbuh Lewat Penolakan”

a. Ditolak bukan berarti gagal

Banyak orang sukses, baik dalam karier, pelayanan, bahkan relasi, pernah ditolak berkali-kali. Tapi mereka memilih belajar, memperbaiki diri, dan tidak menyerah.

b. Belajar memilah penolakan

Kita harus belajar membedakan penolakan yang membangun (karena memang perlu berubah), dan penolakan yang tidak berdasar (karena orang lain punya luka atau perspektif sempit).

c. Proses mengenali jati diri

Lewat penolakan, banyak orang justru mulai memahami siapa mereka sebenarnya, apa nilai mereka, dan mana komunitas yang benar-benar bisa menerima dan menumbuhkan mereka.


Indie *Mei 2025


Belajar dari Pengalaman Tertolak

Penolakan adalah bagian dari hidup yang tidak bisa dihindari. Ia bisa hadir di mana saja dan kapan saja: dalam hubungan sosial, pertemanan, pribadi, di tengah keluarga, di pelayanan bernuansa rohani, bahkan di dunia pekerjaan. Alasannya pun beragam, mulai dari perbedaan pandangan, keterbatasan kemampuan, situasi yang tidak mendukung, hingga penilaian subjektif orang lain yang sering kali tidak adil.

Penolakan juga bisa hadir dengan banyak wajah, kadang berupa kata yang menyakitkan, sikap dingin, atau pintu yang tertutup tanpa penjelasan. Atau cara yang tidak mencolok, tapi tetap terlihat jelas dari gestur, mengabaikan, dengan sengaja menunjukkan perbedaan sikap. 

Pengalaman itu bisa datang tiba-tiba, tanpa sempat dipersiapkan. Dan saat itu terjadi, ada rasa sakit yang seakan menusuk identitas terdalam: “Apakah saya tidak cukup baik? Mengapa saya ditolak?”

Dari Sisi Psikologi

Psikologi menjelaskan bahwa penolakan dapat memicu rasa sakit emosional yang mirip dengan luka fisik. Bagian otak yang merespons rasa sakit sosial bereaksi hampir sama dengan ketika tubuh terluka. Karena itu, tidak heran jika penolakan sering membuat hati perih, kecewa, bahkan ingin menarik diri.

Namun, para ahli juga menekankan bahwa pengalaman tertolak bukanlah akhir dari segalanya. Justru, itu bisa menjadi momentum untuk membangun daya lenting (resilience). Dengan belajar mengelola emosi, menyadari bahwa penolakan bukan cerminan totalitas diri, dan mengembangkan sudut pandang baru, kita dapat menemukan ruang untuk bertumbuh.

Beberapa hal yang saya pelajari:

Penolakan seringkali bukan tentang saya sebagai pribadi, melainkan tentang kebutuhan, preferensi, atau situasi orang lain.

Tidak semua hubungan atau kesempatan cocok untuk saya, dan itu tidak mengurangi nilai diri saya.

Setiap pengalaman tertolak bisa menjadi cermin untuk evaluasi, tapi bukan vonis atas siapa saya.

Dari Sisi Iman

Iman memberi makna lebih dalam. Identitas sejati saya tidak ditentukan oleh penerimaan manusia, melainkan oleh Allah. Yesus sendiri mengalami penolakan — dari orang sebangsanya, dari murid-murid yang pernah dekat, bahkan hingga salib. Namun, penolakan itu justru menggenapi rencana keselamatan yang besar.

Ketika saya mengingat hal itu, saya belajar menerima bahwa penolakan bisa menjadi bagian dari panggilan dan penyaringan ilahi. Kadang Tuhan menutup pintu karena ada jalan lain yang lebih sesuai dengan rancangan-Nya. Kadang Ia izinkan saya merasakan tertolak, agar hati saya tidak melekat pada pengakuan manusia, melainkan pada kasih-Nya yang kekal.

Firman Tuhan di Yesaya 49:16 menguatkan saya: “Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku.” Ayat ini mengingatkan bahwa sekalipun dunia menolak, saya tetap ada dalam genggaman Allah.

Menyatukan Psikologi dan Iman

Dari psikologi, saya belajar menerima luka, mengelola emosi, dan membangun kembali kepercayaan diri. Dari iman, saya belajar bersandar pada kasih Tuhan yang tidak pernah menolak saya. Keduanya berjalan beriringan: ilmu menolong saya memahami mekanisme jiwa, iman menolong saya menemukan makna terdalam.

Pada akhirnya, penolakan bukan lagi akhir, melainkan proses pembentukan. Saya belajar berkata dalam hati:

“Saya mungkin ditolak dalam situasi tertentu, tetapi saya tidak pernah ditolak oleh Allah. Nilai saya tidak berkurang, justru sedang ditempa.”


Indie *Mei 2025


Senin, 01 September 2025

Harapan


Ada saat di mana langit tampak abu-abu,
Dan bintang-bintang enggan bercahaya,
Di mana langkah terasa berat,
Seakan dunia mengunci semua pintu.

Berdiri di ambang kegelapan,
Dengan tangan kosong dan hati yang remuk,
Tak ada lagi impian yang berani terbang,
Semua janji masa depan terasa hampa.

Namun, entah kenapa, di antara reruntuhan itu,
Ada bisikan kecil, hampir tak terdengar,
Seperti nyala lilin di tengah badai,
Rapuh, namun tak padam.

Tak lagi berharap pada keajaiban besar,
Tak meminta pelangi di akhir hujan,
Hanya berharap pada hari yang berikutnya,
Pada detik yang tak runtuh, pada napas yang bertahan.

Mungkin ini bukan harapan,
tapi sekadar kebiasaan bertahan,
Atau sekadar perlawanan sunyi,
Melawan kepahitan yang merayap di jiwa.

Namun meski dunia terasa kosong,
Dan setiap jalan tampak buntu,
hati tetap menggenggam harap,
Meski tak tahu pada apa.

Karena terkadang, berharap bukan hanya tentang yakin,
Melainkan tentang terus melangkah,
Meski kaki gemetar,
Meski hati hampir menyerah.

Di saat harap itu sendiri tak lagi punya bentuk,
Ia tetap ada,
Sebagai napas terakhir dalam kegelapan,
Sebagai bisikan yang berkata,
"Aku masih di sini."

Indie *1/01/25

Anugerah Tuhan


Dalam keheningan pagi yang lembut,
Ada napas kehidupan yang terhembus,
Setiap embun yang jatuh dari daun,
Adalah cermin dari anugerah Tuhan.

Bukan hanya dalam terbitnya matahari,
Tapi dalam detak hati yang tak pernah henti,
Setiap hembusan angin yang menyentuh wajah,
Adalah sentuhan lembut kasih-Nya.

Anugerah Tuhan bukanlah gemuruh besar,
Melainkan bisikan lembut di tengah badai,
Pelukan hangat saat dunia dingin,
Dan cahaya kecil yang menuntun pulang.

Dalam setiap langkah, Dia hadir,
Dalam air mata, dalam tawa,
Di setiap liku-liku kehidupan,
Ada tangan-Nya yang tak pernah lelah mengangkat.

Kita sering mencari mukjizat di langit,
Tapi lupa melihat keajaiban di bumi,
Pada bunga yang mekar di retakan tanah,
Pada nafas yang terjaga saat membuka mata.

Anugerah Tuhan adalah 
pagi yang baru,
kekuatan dalam kelemahan,
Pengharapan saat semua terasa hilang,
Dan kedamaian yang tak tergoyahkan.

Dia hadir dalam detik-detik sunyi,
Dalam doa-doa yang tak terucap,
Dan meski kadang tak terlihat,
Anugerah-Nya selalu cukup,
Mengalir tanpa henti,
Mengisi setiap ruang hati yang rindu.

Indie *26/12/24

Sejarah yang Dihapus

Ada kisah yang lahir dari luka,
Yang dulu mengalir seperti sungai jernih,
Namun tangan-tangan asing datang,
Mereka menghapus setiap huruf,
Merobek halaman-halaman kenangan,
Mencoba mengganti masa lalu,
Dengan cerita yang bukan miliknya.

Tapi jejak hati tak pernah benar-benar hilang,
Di balik kabut kepalsuan,
Masih ada sisa-sisa cahaya,
Bersinar lembut, menanti ditemukan.

Sejarah hidup yang dihapus,
Seperti bintang yang dipadamkan dari langit,
namun meski gelap menyelimuti,
Cahayanya tetap hidup, meski tak terlihat.

Mereka bisa mencabut akar dari tanah,
Namun tak bisa mencabut ingatan dari jiwa,
Tak bisa menghapus jejak yang tertinggal,
Dalam setiap napas, setiap peluh yang terbawa angin.

Seperti bunga liar yang tumbuh di antara batu,
Sejarah itu akan kembali,
Dalam bisikan-bisikan kecil,
Dalam kenangan-kenangan yang dirajut ulang,
Oleh mereka yang berani mengingat.

Karena meski dihapus,
Sejarah tetap milik jiwa,
Tertanam dalam tanah hati,
Bersiap tumbuh kembali,
Dalam musim kebenaran yang akan datang.

Indie *24/12/24

Jejak yang Terlupakan


Ada jejak-jejak halus di sepanjang waktu,
Tersapu oleh angin yang tak berhenti,
Seperti langkah-langkah ringan di pasir pantai,
Lenyap sebelum sempat diingat.

Kisah-kisah terukir di sudut-sudut sunyi,
Di antara debu dan bayang-bayang masa,
Namun jarang terucap, jarang dibaca,
Terkubur dalam hening, hilang dari mata.

Pernah ada mimpi yang lahir dari jiwa,
Bercahaya seperti bintang yang jauh,
Tapi saat fajar tiba, ia memudar,
Menjadi kenangan samar yang ditinggalkan.

Siapa yang akan mengingat?
Sejarah bukanlah gemuruh perang,
sejarah juga bukan nama besar yang dicatat tangan,
Tapi dari kelembutan hati yang pernah berdetak.

Setiap helai rambut beruban,
Setiap kerutan di wajah tua,
Adalah bab yang terlupakan,
Dalam buku hidup yang tak pernah selesai.

Dan meski angin terus menghapus jejak-jejak itu,
Ada sesuatu yang tetap abadi,
Di dalam hati, di atas langit tak berbatas,
Sejarah hidup, meski terlupakan,
Tetap berbisik di antara ketulusan dan kebenaran.

Indie *19/12/24


MEMAINKAN MUSIK HIDUP


Tahun ini saya kembali menikmati Java Jazz Festival, yang digelar dari tanggal 28 Februari s/d 1 Maret 2020. Agenda rutin musisi jazz indonesia yang berbagi panggung dengan musisi jazz mancanegara, di kota jakarta. Sejujurnya, tujuan saya selalu mengagendakan untuk hadir adalah berjumpa dengan beberapa teman lama yang memiliki selera musik serupa dan menikmati pertunjukan dari panggung ke panggung bersama. Meskipun belum pernah bisa selama tiga hari berturut-turut datang, hanya satu hari, dan biasanya hanya hari sabtu. Tapi selalu berusaha mengalokasikan waktu dan dana untuk kebutuhan itu. Disamping merawat pertemanan juga menjadi bagian merawat kesehatan jiwa. Menghadiahi diri sendiri dengan bonus belajar dari teman-teman yang bakal bisa bareng-bareng dengan waktu yang cukup lama. Mendengar cerita, opini dan pengalaman mereka, adalah hal yang menarik. 

Lebih dari itu, saya juga menemukan pelajaran yang ternyata mirip dengan praktek keseharian hidup, dalam setiap pertunjukan, terutama pada waktu menyaksikan permainan instrumen musik dalam jumlah besar atau biasa disebut orkestra. Ada beberapa keharusan yang harus dipatuhi, bukan hanya untuk sebuah eksistensi maupun dedikasi, tapi hal lebih penting pun ternyata harus dilatih dan dikembangkan, yaitu karakter. 

Orkestra berarti mendengarkan. Untuk bisa bermain bersama pasti mereka adalah orang-orang yang telah melatih diri untuk saling mendengarkan dengan rendah hati. Karena saat bermain bersama satu-satunya hal pertama yang harus dipatuhi adalah saling mendengarkan. Itu yang saya rasakan pada waktu berlatih tim komplit, pun dengan lagu yang sederhana, tetap harus saling memperhatikan baik nada maupun isyarat. Mendengarkan adalah kasta tertinggi dari seluruh kemampuan indera yang dimiliki manusia. Karena lewat pendengaran kita melihat, meraba, merasa, juga bersuara. Kita perlu menutup semua indera dan mendengarkan, jeda untuk suara, peralihan sebuah suasana. Belajar mendengarkan orang lain, menjadikan kita tidak egois tanpa harus menjadi apatis. 

Orkestra berarti kepatuhan. Menyisihkan sepersekian menit untuk mempelajari repertoar yang berlembar-lembar. Membunyikannya dengan tepat dan benar. Berlatih keras dalam hitungan jam, hari, minggu, dan bulan untuk menghasilkan sebuah komposisi yang pas. Mengalunkan instrumen setepat yang ingin diceritakan oleh pencipta lagu dengan indah dan merdu. Bermain orkestra seperti bermain seni peran. Setiap tokoh dituntut patuh kepada konsekuensi peran yang mereka pilih. String section memproduksi nada dengan menggesek alat musiknya, brass section menyelaraskan dengan meniupnya, ryhtme section menyeimbangkan dengan memukul dan menekan nada sampai tercipta melodi yang sempurna. Orkestra juga berarti patuh kepada ayunan tongkat konduktor, sepatuh tangan-tangan yang ada di bawah kepemimpinan yang pas untuk bisa selaras. Patuh disini berarti tahu porsi, bukan berarti menolak segala kemungkinan improvisasi. 

Setiap pemain musik, meskipun sudah ahli sekalipun, jika bergabung dalam orkestra harus tetap patuh untuk hasil yang sempurna. Ada peran yang harus dimainkan, ada aturan yang harus dijalankan dan bertanggungjawab atas kepatuhan yang sudah pilih dengan sukarela. 

Orkestra berarti memaafkan. Setiap saat ada kemungkinan salah, tertinggal, terlalu cepat dalam memainkan nada. Setiap saat selalu ada kemungkinan yang merusak perjalanan sehingga harus diulang dari awal. Bermain musik yang berbeda secara bersama, adalah melatih kesabaran dan empati, bersedia berjalan mundur, menulusuri lagi dari awal, memperhatikan yang tertinggal dan melambatkan tempo. Lalu belajar merangkak lagi sebelum akhirnya berlari. Mungkin bagi beberapa yang sudah mahir, dalam proses ada yang tidak sabar. Tapi mereka juga harus bersedia memaafkan dan menaklukkan keinginan, demi tujuan kesempurnaan pertunjukan. Melalui semua itu, setiap pemain sadar bahwa ketika belajar, kesalahan ada memang untuk dimaafkan dan diarahkan, bukan dihentikan. 

Mungkin kesalahan orang lain membuat kita bosan dan menguji kesabaran, tapi tidak menutup kemungkinan kesalahan diri sendiri yang kadang melelahkan. Tapi yang lebih penting dari itu, setiap pemain tetap mau belajar, sehingga dapat memulai lagi ketika sudah lelah dan ingin berhenti. 

Ada kadar keseimbangan yang harus dicari dan ditemukan untuk mencapai kepuasan tertinggi. Karena pada dasarnya manusia itu terdeterminasi. Seperti anak kecil yang mengukur tinggi, selalu ada yang tidak puas jika diukur lebih kecil. Mungkin kita pernah menjumpai hal yang sama pada masa kanak-kanak, paling tidak melihat mereka melonjak-lonjak, berusaha mencapai batas dengan cara mereka yang terlihat lucu. Mungkin dengan minum vitamin, olah raga basket, renang, yang mereka percaya bisa menambah tinggi badan dengan cepat, lalu beradu siapa paling cepat tinggi. Dalam dunia pertunjukan, vitamin yang ditelan biasanya dalam wujud kesempatan. Untuk bermain lebih tinggi, dan bersinergi lebih luas. Karena kesempatan, bukanlah sesuatu yang diberikan melainkan sesuatu yang didapatkan. Terus belajar mengukur dan mengasah kemampuan dan berusaha mendapat kesempatan. Itu sebabnya orkestra juga berarti pengukuran. 

Badai dinamika dalam sebuah permainan musik adalah ujian yang membuat kita mengenali karakteristik pemainan kita untuk kemudian dapat memposisikan diri. Sehingga bisa menghasilkan karya musik yang harmonis, indah dan megah dalam presisi. Ada bagian-bagian lagu yang memposisikan kita untuk vokal dan menguat, di lain waktu menempatkan kita untuk samar dan mengiringi. Adakalanya setiap pemain beradu strategi mengalahkan rasa takut dan selalu percaya diri. meskipun sebenarnya dibalik rasa percaya diri, terselip rasa takut yang bahkan paling besar di dunia. Takut mengecewakan, takut tidak berarti, takut tidak diapresiasi. Tapi proses bermain bersama mengajari kita untuk mengendalikan diri dan emosi atas rasa yang muncul dalam setiap situasi. Sesungguhnya tidak ada orang yang benar-benar percaya diri, yang ada hanya orang yang rasa takutnya terkendali. Itu sebabnya orkestra berarti pengendalian. 

Pertunjukan orkestra tidak akan berarti ketika hanya dimainkan oleh pemainnya sendiri, mereka harus melibatkan penonton untuk meyakinkan bahwa pesan dari permainan musik itu sampai dan dapat dinikmati. Penikmat musik sejati adalah orang yang mau belajar. Bukan hanya menyaksikan pertunjukan hebat yang bermandikan peluh, tapi bisa merasakan nyawa dari musik itu secara menyeluruh, sehingga bisa menangkap bukan karena siapa yang memainkan, tapi apa yang sedang disampaikan. 

Kemampuan untuk bisa bermain musik adalah sebuah pemberian, itu sebabnya orang-orang tertentu melakukannya karena panggilan atau dikenal dengan bahasa kekinian pasion, sehingga mereka memiliki dedikasi yang tinggi dan memberi inspirasi bagi banyak orang, karena mereka bisa mengakomodasi semua kepentingan tanpa harus mengorbankan siapapun. 

Hidup kita seperti pemain musik yang tergabung dalam sebuah orkestra. Peran apapun yang kita ambil dalam hidup, harus diusahakan sedapat mungkin tidak lepas dari arahan konduktor kehidupan. Mengucapkan, menyuarakan dan melakukan gerakan-gerakan dengan tepat dan seharusnya, jika tidak akan merepotkan diri sendiri dan orang-orang disekitar kita, sesama pemain dan membingungkan penonton. Menikmati berbagai proses untuk saling memahami, dengan mendengarkan, memaafkan dan pengendalian diri. Tanpa kehilangan sebuah keyakinan, bahwa hidup kita akan berakhir dengan indah sesuai rencana konduktor kehidupan. Dan pada akhirnya, peran apapun yang kita pilih, dapat menyisakan akhir yang bahagia. Baik bagi diri sendiri maupun orang lain disekitar kita, di dunia. 

Bukan hanya pemain yang berperan mengirimkan nyawa untuk setiap lagu kepada penonton, penonton sejati pun memiliki peran yang sejajar. Penonton sejati mampu menikmati nyawa sebuah permainan musik, mereka bisa mempersembahkan apresiasinya yang oleh pemain ditangkap sebagai energi yang luar biasa besar, sehingga membangkitkan kepercayaan diri untuk memunculkan permainan terbaiknya. 

Tidak harus sependapat tentang apa yang saya tulis, tapi yang pasti ketika kita mengibaratkan kehidupan seperti pertunjukan musik, baik sebagai pemain atau penonton, akan selalu menyimpan kisah tentang kebersamaan. 


Mari mainkan musik hidup kita seindah dan sesempurna arahan sang konduktor hidup, sehingga harmoninya bisa dinikmati oleh siapapun yang ada disekitar kita, dari sang konduktor, sesama pemain hingga penonton. 

*Indie 01/03/2020

Abigail Indiana

Foto saya
I am a product of GOD's Grace. Single, Simple person but will always be an extraordinary person. Just a nature, Truth lover, jazzy lover, coffee lover. Selalu mendefinisikan setiap fase hidup dengan ucapan syukur. I love my beloved Savior, He loves me unconditionally.