Minggu, 07 September 2025

Belajar dari Pengalaman Tertolak

Penolakan adalah bagian dari hidup yang tidak bisa dihindari. Ia bisa hadir di mana saja dan kapan saja: dalam hubungan sosial, pertemanan, pribadi, di tengah keluarga, di pelayanan bernuansa rohani, bahkan di dunia pekerjaan. Alasannya pun beragam, mulai dari perbedaan pandangan, keterbatasan kemampuan, situasi yang tidak mendukung, hingga penilaian subjektif orang lain yang sering kali tidak adil.

Penolakan juga bisa hadir dengan banyak wajah, kadang berupa kata yang menyakitkan, sikap dingin, atau pintu yang tertutup tanpa penjelasan. Atau cara yang tidak mencolok, tapi tetap terlihat jelas dari gestur, mengabaikan, dengan sengaja menunjukkan perbedaan sikap. 

Pengalaman itu bisa datang tiba-tiba, tanpa sempat dipersiapkan. Dan saat itu terjadi, ada rasa sakit yang seakan menusuk identitas terdalam: “Apakah saya tidak cukup baik? Mengapa saya ditolak?”

Dari Sisi Psikologi

Psikologi menjelaskan bahwa penolakan dapat memicu rasa sakit emosional yang mirip dengan luka fisik. Bagian otak yang merespons rasa sakit sosial bereaksi hampir sama dengan ketika tubuh terluka. Karena itu, tidak heran jika penolakan sering membuat hati perih, kecewa, bahkan ingin menarik diri.

Namun, para ahli juga menekankan bahwa pengalaman tertolak bukanlah akhir dari segalanya. Justru, itu bisa menjadi momentum untuk membangun daya lenting (resilience). Dengan belajar mengelola emosi, menyadari bahwa penolakan bukan cerminan totalitas diri, dan mengembangkan sudut pandang baru, kita dapat menemukan ruang untuk bertumbuh.

Beberapa hal yang saya pelajari:

Penolakan seringkali bukan tentang saya sebagai pribadi, melainkan tentang kebutuhan, preferensi, atau situasi orang lain.

Tidak semua hubungan atau kesempatan cocok untuk saya, dan itu tidak mengurangi nilai diri saya.

Setiap pengalaman tertolak bisa menjadi cermin untuk evaluasi, tapi bukan vonis atas siapa saya.

Dari Sisi Iman

Iman memberi makna lebih dalam. Identitas sejati saya tidak ditentukan oleh penerimaan manusia, melainkan oleh Allah. Yesus sendiri mengalami penolakan — dari orang sebangsanya, dari murid-murid yang pernah dekat, bahkan hingga salib. Namun, penolakan itu justru menggenapi rencana keselamatan yang besar.

Ketika saya mengingat hal itu, saya belajar menerima bahwa penolakan bisa menjadi bagian dari panggilan dan penyaringan ilahi. Kadang Tuhan menutup pintu karena ada jalan lain yang lebih sesuai dengan rancangan-Nya. Kadang Ia izinkan saya merasakan tertolak, agar hati saya tidak melekat pada pengakuan manusia, melainkan pada kasih-Nya yang kekal.

Firman Tuhan di Yesaya 49:16 menguatkan saya: “Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku.” Ayat ini mengingatkan bahwa sekalipun dunia menolak, saya tetap ada dalam genggaman Allah.

Menyatukan Psikologi dan Iman

Dari psikologi, saya belajar menerima luka, mengelola emosi, dan membangun kembali kepercayaan diri. Dari iman, saya belajar bersandar pada kasih Tuhan yang tidak pernah menolak saya. Keduanya berjalan beriringan: ilmu menolong saya memahami mekanisme jiwa, iman menolong saya menemukan makna terdalam.

Pada akhirnya, penolakan bukan lagi akhir, melainkan proses pembentukan. Saya belajar berkata dalam hati:

“Saya mungkin ditolak dalam situasi tertentu, tetapi saya tidak pernah ditolak oleh Allah. Nilai saya tidak berkurang, justru sedang ditempa.”


Indie *Mei 2025


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Abigail Indiana

Foto saya
I am a product of GOD's Grace. Single, Simple person but will always be an extraordinary person. Just a nature, Truth lover, jazzy lover, coffee lover. Selalu mendefinisikan setiap fase hidup dengan ucapan syukur. I love my beloved Savior, He loves me unconditionally.