Manusia diciptakan dengan perencanaan yang sangat matang. Setiap individu memliki keunikan dan kemampuan yang berbeda-beda, sesuai dengan ketentuan yang Allah tetapkan.Tetapi ada satu hal yang semua orang tanpa terkecuali mampu melakukannya, yaitu “meniru”. Sependiam apapun orangnya akan bisa menirukan, paling tidak, gerakan dan gaya bahasa waktu menceritakan seseorang kepada orang lainnya. Setiap kali terlintas dalam pikiran tentang hal ini, saya selalu kagum, betapa hebat dan jeniusnya orang dalam hal tiru meniru. Apalagi ketika menyaksikan komedian yang melakukannya, saya bisa dibuat terkagum-kagum, meskipun berbalut tawa tanpa henti. Bahkan bisa dsimpulkan bahwa sesuatu yang mampu dilakukan dengan baik oleh semua orang adalah “tiru-meniru”.
Jika ditarik kembali dari awal penciptaan, ternyata meniru adalah tugas hidup manusia dalam dunia ini. Artinya, dalam kehidupan ini, kita semua senantiasa meniru dalam segala hal. Karena kita diciptakan segambar dan serupa dengan Sang Pencipta.
Meniru memang merupakan hal yang sangat mudah dilakukan oleh semua kalangan.Tetapi perlu kita ketahui, bahwa pada waktu meniru diperlukan kejelian. Meniru itu tidak selamanya akan mendatangkan sesuatu yang lebih baik, efisiensitas atau pun produktifitas. Bahkan, terkadang kebiasaan meniru sering menjadikan sejumlah orang malas untuk berpikir (pasif), sehingga semua tindakannya serba instan.
Seorang peniru yang tidak jeli dan tidak pandai memilah akan berakibat pada kehilangan jati diri (keunikan dan otentisitas) yang mereka miliki. Sifat baik yang dimiliki adalah obsersif, dengan tekun mengamat-amati, obyek tiruan dengan cermat. Selalu ingin meniru semua tindakan orang lain baik itu berupa gaya berpakaian, gaya bahasa, gaya menyanyi, tingkah laku, pola pikir dan sebagainya. Obyek tiruan bisa dari berbagai kalangan, komedian, penyanyi, pewarta, motivator, pastor, sampai penulis. Sehingga tidak jarang ditemukan sang imitator lebih baik dan lebih dikenal dari sang master. Karena imitator memiliki olah vokal dan teknik bernyanyi yang lebih baik, jika yang ditiru seorang penyanyi atau gaya bahasa dan intonasi yang lebih baik, jika yang ditiru seorang pewarta, motivator, dll. Tapi yang menjadi catatannya adalah semirip apapun kita copy-paste, kita tidak akan pernah bisa copy-taste, karena untuk bisa copy-taste, seseorang harus bertukar jiwa.
Taste biasanya diidentikkan dengan makanan dan minuman, tapi tidak beda jauh karena memang digolongkan sebagai kata sifat yang artinya terhubung dengan cita rasa orang yang menikmati.
Saya pernah mengikuti sebuah mini seri film berjudul, janji di youtube, yang diperankan Darius Sinathriya (Iko), Ringgo Agus Rahman (Ujo), dan Widika Sidmore (Naya). Iko dan Naya adalah pasangan suami istri yang saling mencintai, dengan caranya masing-masing, tapi hal itu tidak bisa mewujudkan keharmonisan hubungan mereka. Iko seorang yang lembut, romantis, pandai dan perfeksionis, sehingga tidak pernah melibatkan Naya dalam permasalahannya dari hal kecil sampai besar, dan lebih memilih bercerita setelah semua selesai bahkan setelah dia mengambil keputusan. Dengan maksud tidak ingin merepotkan dan membuat istrinya ikut pusing. Disisi lain, Naya ingin perannya sebagai seorang istri dimanfaatkan, bukan hanya sebagai pasangan yang terlihat baik-baik tanpa tahu apapun.
Ujo adalah seorang yang membuat segala sesuatu mudah, tidak pikir panjang dan tidak bisa membedakan situasi. Karakternya sangat berlawanan dengan Iko, tapi mereka bersahabat sejak lama. Naya tidak terlalu menyukai Ujo karena sering muncul dalam situasi yang tidak tepat.
Singkat cerita dalam sebuah acara minum “teh bersejarah” yang Ujo curi dari klien Iko, mereka bertukar jiwa. Dari sinilah sejarah berbalik, Naya yang tidak terlalu menyukai Ujo mulai tertarik untuk berbagi cerita hatinya. Naya melihat Iko dalam wujud yang berbeda, tapi justru membuat Naya nyaman untuk bercerita apapun, termasuk hal yang tidak terungkapkan tentang perasaannya kepada suaminya. Dari sini Iko yang ada dalam wujud Ujo jadi lebih memahami apa yang Naya inginkan dan apa yang seharusnya dia lakukan untuk istrinya.
Karena diperankan dengat sangat baik oleh keduanya, membuat saya memahami bahwa dalam pertukaran jiwa, seseorang tidak memerlukan effort apapun untuk meniru, sangat natural, tepat, tidak kurang tidak lebih. Karena memang jiwanya sudah digantikan.
Sudah menjadi ketetapan Allah dari awal “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” bahkan tidak hanya berhenti pada kesamaan wujud, tapi dilanjutkan dengan kalimat perintah untuk berkuasa, artinya memiliki cara atau pola memimpin dan berkuasa yang sama dengan Dia, hematnya adalah karakter. Hadirnya sang penebus didunia juga salah satunya untuk ditiru oleh umatnya. Kita harus melakukan hal tersebut dari lahir sampai akhir usia. Meskipun seringkali merasa gagal untuk meniru karakternya karena cara kita yang salah.
Sama halnya dengan hidup kita dalam meneladani karakter Pencipta, upaya kita akan sia-sia jika hanya berhenti pada meniru saja, tapi kita harus mengijinkan Dia masuk dan menguasai hidup kita (roh, jiwa dan tubuh), untuk menukar jiwa kita yang rentan dan rapuh karena dosa, dengan jiwa-Nya yang illahi. Tanpa pertukaran jiwa mustahil kita bisa meniru senatural atau setepat yang Dia kehendaki.
Kita tidak akan kehilangan jati diri dan keunikan kita, sebaliknya akan menemukan jati diri sejati yang semakin disempurnakan.
Indie 25/06/19