24 Maret 2008
Kalau saja hidup ini sebuah sinetron, pasti ketika pembuat alur cerita kehabisan inspirasi untuk berpikir, dia bersegera menyelesaikan tugasnya dengan membelokkan jalan cerita dengan ujung happy ending. Semua mutlak dilakukan pemeran.
Keberadaan manusia didunia yang dikendaki sesuai gambarNya, memiliki ketentuan yang jauh berbeda dengan pemeran sinetron.
Tangis-tawa, sedih-bahagia, baik-jahat, sehat-sakit. Berikut perabot yang melengkapi bumi, matahari-bulan, panas-hujan. adalah dualisme yang senantiasa berjalan beriring dan saling menggantikan, mengiringi dan menghantar langkah manusia kuat tetap kuat menghadapi terpaan badai sekencang dan sedahsyat apapun.
Ada keluhan tertahan dalam gumam sendiri, dan beberapa pertanyaan yang tak terjawab, namun toh tetap ada kekuatan lain diluar kekuatannya yang mampu mengubah yang tertahan menjadi ucapan syukur sekalipun berair mata penyerahan.
Adilkah yang lain menghakimi air matanya sebagai kelemahan, sementara kita tidak mengenali dengan benar apa yang sedang dia alami.
Sementara dia berjuang untuk tetap teguh dalam iman..
Rindu menyaksikan kemuliaanNya di setiap jalan yang ditempuh…
Terjal, berliku, even tanpa umpat, tapi tetap ada keluh dan rintih yang tertahan.
Orang-orang disekitarnya juga berjuang melaksanakan rencana terselubung untuk menghadang dan menyempurnakan kegagalannya.
Sejauh mata memandang dan setajam telinga mendengar, yang orang-orang nantikan tentangnya hanya sampai dimana dia bisa bertahan.
Dalam keterbatasannya gumam lirih mengalir, betapa sulitnya memancarkan kemuliaan sejati diantara yang merasa memiliki kemuliaan dalam diri.
Segala sesuatu yang keluar dari mulutnya dan polah dari sikapnya jadi serba salah :
Tentang iman untuk tetap bersukacita dalam kesesakan, disimpulkan kebebalan…
Tentang harapan dan hal positif, disimpulkan kesombongan…
Tentang kasih dan kejujuran pun disimpulkan orang sok…
Tentang canda, disimpulkan sebagai tidak berhati-hati dengan perkataan dan dinilai sebagai keinginan…
Padahal pikirnya sesak dan tangis, cukup tertumpah dalam sendiri di hadiratNya.
Tentang harapan dan kasih, ingin membagun iman dan berbagi spirit.
Tentang canda, hanya ingin berbagi cerita bermuatan beban dalam canda, dan melepasnya begitu saja.
Ketika kesesakan tak tertahan, tertangkap mata sekitar, reaksi yang muncul dalam diam adalah tawa bermuatan kata sinis “dia sih orangnya… makanya…” atau “kalau liat seperti itu kasian tapi biar tau rasa, dia sombong sih…” dan seterusnya.
Dari mana manusia mengukur kesombongan seseorang?
Dari penampilan yang tidak pernah melas?
dari sikap yang selalu antusias dan lugas?
Ternyata masih banyak orang yang belum bisa menerima awam dan orang sejajar sebagai pelaku kebenaranNya.
Memang, tidak semudah itu, tapi ketika kita memberi hati untuk ditemuiNya, segalanya akan diambil alih. Seperti tak berasa.
Apakah panggung yang sering dilakoni dalam sesak, badai dan berbagai kesulitan itu telah berlalu?
Jawabnya TIDAK. Semua tetap ada.
Atau panggung lainnya yang dimainkan dalam hingar bingar, pesta pora, hiruk pikuk, dan segala kelimpahan yang diberi nama kenikmatan hidup itu telah sirna?
Inipun akan tetap menjadi salah satu dari sekian uji yang harus kita alami.
Yang ternyata diakui oleh beberapa orang sebagai uji lebih berat.
Memang tidak mudah, karenanya jangan pernah mencoba adegan ini sendiri, without HIS love and always in HIM.
Tetap bertahan dalam kebenaran, dalam kekuatanNya adalah keputusan terbaik, tetap semangat.
Kalau saja hidup ini sebuah sinetron, pasti ketika pembuat alur cerita kehabisan inspirasi untuk berpikir, dia bersegera menyelesaikan tugasnya dengan membelokkan jalan cerita dengan ujung happy ending. Semua mutlak dilakukan pemeran.
Keberadaan manusia didunia yang dikendaki sesuai gambarNya, memiliki ketentuan yang jauh berbeda dengan pemeran sinetron.
Tangis-tawa, sedih-bahagia, baik-jahat, sehat-sakit. Berikut perabot yang melengkapi bumi, matahari-bulan, panas-hujan. adalah dualisme yang senantiasa berjalan beriring dan saling menggantikan, mengiringi dan menghantar langkah manusia kuat tetap kuat menghadapi terpaan badai sekencang dan sedahsyat apapun.
Ada keluhan tertahan dalam gumam sendiri, dan beberapa pertanyaan yang tak terjawab, namun toh tetap ada kekuatan lain diluar kekuatannya yang mampu mengubah yang tertahan menjadi ucapan syukur sekalipun berair mata penyerahan.
Adilkah yang lain menghakimi air matanya sebagai kelemahan, sementara kita tidak mengenali dengan benar apa yang sedang dia alami.
Sementara dia berjuang untuk tetap teguh dalam iman..
Rindu menyaksikan kemuliaanNya di setiap jalan yang ditempuh…
Terjal, berliku, even tanpa umpat, tapi tetap ada keluh dan rintih yang tertahan.
Orang-orang disekitarnya juga berjuang melaksanakan rencana terselubung untuk menghadang dan menyempurnakan kegagalannya.
Sejauh mata memandang dan setajam telinga mendengar, yang orang-orang nantikan tentangnya hanya sampai dimana dia bisa bertahan.
Dalam keterbatasannya gumam lirih mengalir, betapa sulitnya memancarkan kemuliaan sejati diantara yang merasa memiliki kemuliaan dalam diri.
Segala sesuatu yang keluar dari mulutnya dan polah dari sikapnya jadi serba salah :
Tentang iman untuk tetap bersukacita dalam kesesakan, disimpulkan kebebalan…
Tentang harapan dan hal positif, disimpulkan kesombongan…
Tentang kasih dan kejujuran pun disimpulkan orang sok…
Tentang canda, disimpulkan sebagai tidak berhati-hati dengan perkataan dan dinilai sebagai keinginan…
Padahal pikirnya sesak dan tangis, cukup tertumpah dalam sendiri di hadiratNya.
Tentang harapan dan kasih, ingin membagun iman dan berbagi spirit.
Tentang canda, hanya ingin berbagi cerita bermuatan beban dalam canda, dan melepasnya begitu saja.
Ketika kesesakan tak tertahan, tertangkap mata sekitar, reaksi yang muncul dalam diam adalah tawa bermuatan kata sinis “dia sih orangnya… makanya…” atau “kalau liat seperti itu kasian tapi biar tau rasa, dia sombong sih…” dan seterusnya.
Dari mana manusia mengukur kesombongan seseorang?
Dari penampilan yang tidak pernah melas?
dari sikap yang selalu antusias dan lugas?
Ternyata masih banyak orang yang belum bisa menerima awam dan orang sejajar sebagai pelaku kebenaranNya.
Memang, tidak semudah itu, tapi ketika kita memberi hati untuk ditemuiNya, segalanya akan diambil alih. Seperti tak berasa.
Apakah panggung yang sering dilakoni dalam sesak, badai dan berbagai kesulitan itu telah berlalu?
Jawabnya TIDAK. Semua tetap ada.
Atau panggung lainnya yang dimainkan dalam hingar bingar, pesta pora, hiruk pikuk, dan segala kelimpahan yang diberi nama kenikmatan hidup itu telah sirna?
Inipun akan tetap menjadi salah satu dari sekian uji yang harus kita alami.
Yang ternyata diakui oleh beberapa orang sebagai uji lebih berat.
Memang tidak mudah, karenanya jangan pernah mencoba adegan ini sendiri, without HIS love and always in HIM.
Tetap bertahan dalam kebenaran, dalam kekuatanNya adalah keputusan terbaik, tetap semangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar